Berbalik Arah- Cerbung
Dan kini,
disinilah Yasmin. Duduk termangu di teras rumah, sambil menatap langit yang
dipenuhi bintang-bintang. Mimpi tentang kebahagiaan bersama Ardian menari-nari
dipelupuk matanya. Sesekali membuatnya tersenyum, namun sekonyong-konyong mimik
wajahnya berubah sendu. Tarikan nafas panjang menandakan kesesakan didadanya
akan segala rasa yang hadir. Rindu, takut, khawatir, dan harapan bercampur jadi
satu. Segala kemungkinan bisa terjadi kedepan. Bisa jadi Ardian adalah
pelabuhan terakhirnya, dan bisa jadi bukan. Kadang ia berfikir, pantaskah
dirinya mendampingi lelaki sesempurna Ardian. Seorang dokter, shalih, cerdas,
kritis, sangat menghargai perempuan, dan yang paling penting seorang penulis,
hal yang diidam-idamkan sedari dulu oleh yasmin, menjadi istri seorang penulis.
Tapi, sungguh, rapalan do’anya dan segenap ikhtiar yang dia lakukan, semuanya
kembali kepada penentu takdir. Rabbnya yang Maha Kuasa.
***
“Halo. Siapa
ini?”
Yasmin baru saja
menerima panggilan telepon dari seseorang yang tak dia kenal.
“Maaf, ini dengan
Yasmin?”
Suara berat dari
seberang sama sekali asing ditelinga Yasmin. Dan lagi pula, ia tak banyak
mengenal lelaki asing diluar sana.
“betul. Anda
siapa? Ada keperluan apa?”
“maaf sekali
lagi, saya tidak bisa memberitahumu siapa saya, setidaknya untuk saat ini. Saya
ingin meminta alamatmu dan nomor telepon walimu, kalau bisa.”
“saya tidak kenal
anda. Dan maaf, saya tidak melayani lelaki asing yang kerjaannya cuman
main-main sama perempuan.”
Yasmin langsung
memutuskan telepon secara sepihak. Ia tak terbiasa diperlakukan seperti itu.
Jika lelaki itu berniat baik, kenapa harus menyembunyikan identitasnya. Sungguh
mengherankan.
***
Lelaki itu
mendengus kesal. Ia belum selesai bicara, tapi sambungan teleponnya dimatikan
begitu saja. Padahal nomor wanita tersebut susah payah ia cari di bagian
administrasi. Bahkan harus bernegoisasi lama dengan pak Munawwar –staff
administrasi di kampusnya- untuk mendapatkan nomor tersebut. Ck. Wanita itu
sungguh sulit ia jangkau.
***
“Yan, selamat
yah. Beruntung sekali kau bisa dapat beasiswa ke belanda.”
Sms Dr. Ratna
masuk ke Handphonenya. Ia sangat bersyukur. Cita-citanya untuk melanjutkan
residen di belanda sedikit lagi tercapai. Bahkan ia sudah menggenggam tiket
beasiswa untuk kesana. Segala puji bagi Rabb semesta alam atas segala limpahan
kebaikan yang dikaruniakan kepadanya.
Namun, dibalik
kebahagiaan itu, dilema menyusup kedalam sanubarinya. Lalu,bagaimana dengan
Yasmin? 0h, Ardian lupa hal yang satu itu. Kesibukannya bekerja di rumah sakit telah
menyita banyak waktu dan fikirannya. Apa yang harus ia lakukan? Tak terasa
waktu 2 bulan berlalu begitu saja. Dan ia belum siap berbicara kepada Yasmin.
ia harus memutuskan. Tapi, ia tak ingin mengecewakan gadis itu. Perempuan
selalu menjadi godaan terberat baginya. Hufftt.
***
Anda
gila, yah. Bahkan memberitahu nama anda saja tidak. Lalu mau datang ke rumah
saya melamar?!
Saya
lagi berproses dengan yang lain. Jadi, tolong jangan ganggu saya lagi.
Deretan sms
tersebut ia perjelas lagi. Jadi, ia sudah tidak punya kesempatan lagi.
Bahkan,ia sudah kalah sebelum berperang. Menyedihkan.
***
Tolong
yah, Lan. Sampaikan permohonan maaf saya sebesar-besarnya kepada Yasmin. Saya
tidak bisa melanjutkan proses dengannya. Saya harus berangkat ke belanda
sepekan lagi. Sekali lagi maaf. Jika memang kami ditakdirkan berjodoh, insya
Allah, akan ada saatnya kami dipertemukan. Sampaikan terima kasih saya juga.
Karena ia sudah mau memilih saya. Setiap pilihan akan dipertanggung jawabkan.
Dan setiap kita punya hak kemerdekaan untuk memilih. Wassalam.
Deretan pesan dari Ardian kepada
Yasmin yang dikirim ilana lewat screenshoot gambar sejam yang lalu itu, belum
jua menghentikan tangisan Yasmin. matanya sudah membengkak. Satu kotak tissue
telah habis dihadapannya. Benarlah kata-kata petuah, bahwa jika kau berharap
terlalu tinggi kepada manusia, maka kau akan kecewa. Terbuktilah sekarang.
Yasmin mengaku salah. Salah menempatkan harapannya. Harusnya segalanya
terlabuhkan kepada Sang Pemilik Hati. Bukan kepada makhluk-Nya. Ooh.. dia
menyesal yaa Rabb.
***
“namanya Aksa,
Yas. Kamu kenal?”
Yasmin
menggeleng. Siapa sih yang di sebut Nanda itu. Ia juga heran. Tak ada angin tak
ada hujan, Nanda, satu kelasnya ditingkat 3, yang notabenenya tidak terlalu
akrab dengannya, tiba-tiba menghubunginya, dan mengatakan ingin ke rumah
Yasmin. dan sekarang, Nanda benar-benar datang.
“aku baru tahu,
kalau ada nama Aksa di jurusan kita.”
Yasmin kembali
meyakinkan Nanda, atas ketidaktahuannya tentang lelaki yang bernama Aksa.
“ck. Iya sih.
Kamu mana kenal laki-laki di jurusan. Lah
wong kamu tidak pernah bergaul dengan lelaki mana pun di kampus.” Nanda
sepertinya baru tersadar akan fakta yang satu itu.
“dia itu naksir
kamu dari kita semester 5. Sudah dua tahun, Yas, dia memendam rasa.” Nanda
kembali memaparkan sosok Aksa yang diiringi dengan tawanya yang menggema di
kamar Yasmin.
“Ha? Selama itu?”
Yasmin seakan tak percaya akan hal itu. Kenapa bisa Aksa menyukainya?
Bersambung..
Assalamu ‘alaikum
readers kece nan menawan cetar badai.. hahaha. Ini cerita baru, tapi
bersambung. Hmmm.. mumpung jaringan di kampung yang terpencil ini lagi baik,
maka kuluangkan waktuku untuk menulis sedikit disela rutinitasku sebagai calon
IRT yang sudah bekerja jadi IRT. Wkwk. Semoga suka. Happy reading...
Lanjutannya
kapan? Tunggu ajah. *senyummanis
Comments
Post a Comment