Jakarta-anugrah atau Musibah
Malam itu, tiba-tiba pak Boss menelfonku.
“dik” begitu sapaan beliau padaku.
“ini ada kabar dari pusat (maksudnya Yayasan pusat, yang
salah satu cabangnya dikelolah oleh Bossku di Kota kami tempati), tanggal
sekian adik harus berangkat ke Jakarta untuk menjalani masa training selama 40
hari.” Tutur beliau.
Aku cukup shock mendengar ini. Pasti Pak Boss sudah menimbang
lebih jauh soal ini. Aku sangat menghargai beliau. Bahkan, aku diterima di
Kliniknya bekerja sebagai Kepala bagian keuangan tanpa test ini-itu.
Sebenarnya, aku tak menyangka bisa bekerja disana. karena, pada awalnya, ketika
dipersyaratkan untuk memasukkan CV, aku menaruh pas foto yang memakai niqob.
Beberapa hari setelahnya, aku dihubungi untuk mengganti foto tersebut dengan
foto yang membuka wajah. Saat itu aku menolak. Dan mengatakan “mending saya
mencari kerjaan lain, jika harus menampilkan foto tanpa cadar”. Setelah
beberapa hari, aku kembali dihubungi. Katanya aku sudah bisa masuk kerja minggu
depan.
Nah, lanjut ke soal kabar aku akan dibawa ke Jakarta. Beberapa
pertanyaan kuajukan. Seperti aku berangkat dengan siapa? Bagaimana keadaan
disana? dan yang paling penting, haruskah atau wajibkah aku kesana? Oh ya,
tambahan informasi, kenapa aku dilibatkan pada yayasan tersebut, karena aku
juga akan menjadi akuntan nantinya di Yayasan cabang yang dikelolah oleh
Bossku. Ribet sekali. Dan setelah proses tanya jawab, maka kesimpulannya, aku
wajib berangkat kesana, dengan 2 orang lain (ikhwan) yang juga akan bergabung
di yayasan tersebut. Oh my Rabb.. musibah. Yang benar saja? Aku harus melakukan
perjalanan jauh (safar) dtemani 2 orang ikhwan. Aku mau pingsan saja selama
beberapa hari ketika mendengar itu.
“mmm.. gimana ya, dok? Saya sungguh berat hati jika harus
berangkat kesana. Fitnahnya besar sekali. Saya perempuan sendiri, ditemani 2
orang lelaki asing. Bolehkah saya tidak berangkat, dok?” aku masih menawar.
“sebenarnya saya juga tidak setuju,dik. Hanya saja di pusat
mewajibkan training. Begini saja, saya usahakan untuk melobby kembali ke Pusat.
Tapi, jika nantinya tidak diterima, adik harus tetap siap berangkat kesana.
Nanti saya carikan teman perempuan untuk menemani.”
Ah, sebuah solusi yang bukan solusi. Ckck. Maafkan saya pak
boss.
Beberapa hari menunggu keputusan tersebut, akhirnya Pak Boss
kembali menghubungi.
“Dik, besok setelah jam kerja jangan langsung balik, yah.
kita akan bahas keberangkatan para pengurus yayasan besok sore”. Saat itu, aku
memang sudah aktif di klinik beliau sekitar sepekan atau lebih.
“baik, dok.”
Esoknya, diruang rapat, ada aku, pak Boss, dan salah satu
karyawan administrasi, mulai membicarakan mengenai training tersebut. Awalnya,
karyawan administrasilah yang ditunjuk untuk menemaniku (oh ya, keputusan
finalnya aku harus tetap berangkat ke Jakarta. Tidak bisa tidak), namun dia
menolak. Karena beberapa pekerjaan yang memang tugas utamanya dia tidak bisa
digantikan oleh yang lain. Maka, dipanggillah karyawan lain, yang merupakan
salah satu asisten di klinik. Aku memang belum dekat dengan karyawan-karyawan
disana pada saat itu karena masih baru, kecuali karyawan administrasi yang
merangkap sebagai staff keuangan yang memang kubawahi. Jadi, aku mengambil
pertimbangan untuk mencari teman yang menurutku cocok untuk bersama-sama ikut
training di jakarta. Dan kupilihlah salah satu calon karyawan pak Boss di salah
satu cabang kliniknya yang pada saat itu belum beroperasi. Dia teman
sealmamaterku, teman sekostku, dan teman sepengajian. Sebut saja ukhti Z.
Aku dan ukhti Z pada saat itu berangkat dengan dompet kosong.
Bahkan KTP saja kami tidak punya. Hahaha. Ya, karena bernasib sama, yaitu
sama-sama kehilangan KTP, maka kami hanya membawa surat keterangan domisili
dari kantor lurah.
Perjalanan ke Bandara Hasanuddin, terbang pertama kali, tiba
di bandara halim perdana kusuma, dan menginjakkan kaki di Ibukota yang bernama Jakarta, masih
bagaikan mimpi. Entah, aku harus bagaimana. Tentu saja perjalananku kesana saat
itu melanggar syariat, yakni bepergian tanpa mahram. Namun, dilain sisi, itu
menjadi kekuatan untukku, yang pada saat itu, dibuang oleh orangtua dan
saudara-saudaraku hanya karena berhijrah menjadi lebih baik. Pak boss adalah
salah satu orang yang sering memberiku semangat, mengantarkan kami, dan
memastikan kami semua mendapat pelayanan baik selama berada di jakarta. Jazakallahu
khoiron pak Boss, meski aku masih menyimpan sedikit kecewa sampai saat ini
(nanti kapan-kapan kuceritakan di judul yang lain).
Tiba di jakarta, kami disambut baik oleh karyawan di Pusat. Diberi
tempat tinggal di salah satu kontrakan karyawan disana. secara akhlak, mereka
sangat baik. Terutama pak Presdir. Namun, ada hal lain yang membuat kami
(terutama aku dan ukhti Z) tidak betah disana. selain makanan khas jawa yang
tidak biasa di lidah kami, yang membuat ukhti Z mual-mual setiap selesai makan
(dia drop beberapa hari selama disana), yang paling penting adalah soal
perbedaan prinsip kami di Pusat dan di cabang kota Kami. Maka, aku adalah salah
satu yang paling sering mengeluh ke pak Boss memintanya untuk segera
memulangkanku dengan ukhti Z. Soal prinsip ini, tidak bisa kutulis disini, ini
adalah rahasia perusahaan. Haha. Apaan, sih?!
Selama disana, aku baru pertama kali naik kereta api. Dan sempat
dimarahin sama petugas karena salah memasukkan kartu. Haha. Memalukan. Dan kami
juga diajak berkunjung ke pasantren aa Gym yang ada di Bandung. Bahkan ikut
siaran diradionya, bersama salah satu karyawan. Betapa shocknya aku saat itu,
tanpa persiapan, terus di suruh ngomong, dan suaraku mengudara di Bandung. Ya Allah..
aku belum sempat dengan rekamannya kayak gimana. Dibawa jalan-jalan ke
alun-alun, ke masjid Al Irsyad (yang katanya di desain oleh bapak Ridwan
Kamil), ke ITB dan sempat mampir sholat di masjid kampus, ke masjid cut muetia,
ikut pengajian ustadz Abdullah taslim di masjid nurul blok M square
(alhamdulillah, disana sempat ketemu sama teman se almamater yang lanjutin
nersnya di Jakarta), dll.

Kesannya ketika disana, pokoknya
secepatnya harus segera
pulang. Haha. Apalagi ukhti Z. Sudah gundah gulana tak keruan, ingin kembali ke
kota Kami. Bahkan ketika kami mau diajak ke monas, dia dengan tegas menolak. Pokoknya,
dia Cuma ingin pulang. Wkwkwk.
Oh ya, aku lupa cerita soal dua orang ikhwan yang ikut
bersama kami. Sebut saja pak A dan pak B. Mereka adalah bapak-bapak yang baik. Sangat
mengerti keadaanku dan ukhti Z. Dan nantinya kami sisa bertiga yang menjalankan
yayasan di Cabang kota kami, yakni aku, ukhti Z, dan Pak A (direktur cabang di
kota Kami). Dan selama kami bertiga menjadi parnert kerja, juga banyak
suka-duka, serta susah-senangnya. Terima kasih Ukhti Z, senantiasa siap
mengantarkanku pulang pergi kantor dan dinas luar, menerima segala arahan,
sering dengar omelan dan curcolanku yang tak habis-habis. Terima kasih juga pak
A, sudah menjadi Boss kedua yang sangat baik. Mau menerima masukan-masukan dan
kritikan dari mulutku yang sering tak ada rem (bahkan menjadi orang yang
pertama kali menjulukiku Ibu keuangan yang cerewet), membuat kami selalu enjoy
di kantor dengan candaan yang ketika sekarang dikenang masih membuat tawa. Semoga
bahagia selalu pak dengan keluarga. Ah, kalian parnert kerja yang terbait
meman. Haha. Jazakumullahu khoiron.
Dan akhirnya, sekarang kita terpisah. Mengambil jalan
masing-masing, yang kita yakini, bahwa inilah yang terbaik, untuk kita dan
keluarga.
Perjalanan Makassar-Jakarta, Jakarta-Makassar, adalah moment
dalam hidupku yang tak bisa dihapus dan menjadi sebuah sejarah. Sesederhana apa
pun, setidak nyaman apa pun, dan sepahit apa pun.
segitu saja.
Mengenang kalian satu-satu, di kampung halamanku yang belum
juga Maju
Mamuju tengah, 04 februari 2018
note : dokumentasi seadanya. karena aku memang jarang jepret-jepret.
Comments
Post a Comment