ketika hidayah menyapa (cerpen)
Secercah Cahaya
Dikampus Hijau
Berawal dari sebuah mimpi. Masih terukir jelas di
benakku. Saat itu pekan tenang pra ujian nasional tingkat SMA. Masa-masa sulit
bagiku saat itu, berhadapan dengan soal-soal ujian ketika pusara Bunda masih
basah. Tapi, itulah realita hidup yang harus dijalani. Sebuah hikmah besar yang
kudapatkan dari musibah itu, ia membuatku jauh lebih tegar, berusaha untuk
menjadi lebih dewasa, mejadi anak sekaligus Ibu di keluarga kecilku. Dan hal
itu pula yang menyadarkanku akan kehidupan yang abadi setelah kematian. Dan
disinilah mimpi itu muncul. Ingin menjadi muslimah yang kaffah. Aku bosan
dengan hidupku yang biasa-biasa saja. Meski terlahir dari orangtua muslim,
namun belum sepenuhnya bisa menjalankan kewajiban agamaku. Sholat hanya sekedar
menggugurkan kewajiban tanpa ada ruhnya, sholat tapi masih pacaran, muslimah
tapi hanya memakai jilbab jika bepergian jauh. Ada niat tulus untuk berubah,
tapi akupun tidak tahu harus memulai darimana. Ah, coba aku bisa sekolah di
pesantren atau perguruan tinggi islam. Bisa lanjut kuliah sambil belajar agama.
Mungkin di kota Makassar banyak universitas islam. Aku bisa lanjut kuliah
disana. Aku masih bimbang. Belum tentu diberi izin. Aku yang tinggal dipelosok
desa di provinsi Sulawesi barat, bisa tidak beradaptasi dengan kota besar?
Bertubi-tubi pertanyaan muncul dibenakku.
Berbekal handphone merk china yang kumiliki, aku mulai
browsing di internet mengenai perguruan tinggi Islam yang ada di kota Makassar.
Beberapa mulai muncul, dari yang negeri sampai yang swasta. Aku mulai berfikir
saat itu. Mungkinkah aku bisa melanjutkan studiku disalahsatu universitas
tersebut? Karena, hanya untuk melangkahkan kaki saja keluar rumah, banyak
kekangan dari keluarga. Dan ternyata Allah telah menyiapkan skenario indah
untukku, yang tak pernah kuduga sebelumnya.
Tiba saat pengumuman. Dan Alhamdulillah, aku masuk ketiga
besar di sekolahku. Kota Makassar mulai terbayang-bayang dipelupuk mataku. Ya
Allah, jika kau menghendaki perubahan dalam diriku, maka izinkan aku belajar di
Kota Makassar.
***
Aku memberanikan diri berbicara pada Ayah. Memang, aku
tidak terlalu akrab dengan beliau. Mungkin karena kami sama-sama pendiam,
sehingga tidak ada yang bisa mencairkan suasana. Jadilah rasa segan dan takut
tidak diberi izin mendominasi fikiranku. Dan siapa sangka beliau luluh hatinya
ketika kujelaskan pentingnya sebuah pendidikan, dan mudah mencari pekerjaan
jika telah sarjana, itu alasanku kepada beliau.
Qadarullah. Manusia mampu berencana, tapi Allah yang Maha
menentukan. Pada saat pendaftaran SMPTN dibuka, Ayah sakit keras dan harus di
bawa pulang ke kampung halaman orangtuanya, di Sulawesi selatan. Apa boleh
buat. Akupun harus ikut menemani beliau. Sejenak SMPTN terlupakan.
Hingga masa pendaftaran SMPTN ditutup, aku masih di
kampung halaman nenek. Dan itulah salahsatu skenario Allah.
***
Siapa sangka, kota Makassar yang hanya ada dalam
khayalanku, kini aku berpijak dibuminya. Bukan hanya itu. Universitas yang
kumimpikan ada di depan mataku. Meski tidak bisa masuk di PTN tidak mengapa,
asalkan di sana aku bisa belajar ilmu agama. Ya Allah, Engkau terlalu baik
kepada hamba yang hina ini.
Kini aku menjadi
seorang mahasiswa di salahsatu perguruan tinggi Islam. Kampus tersebut dijuluki
Kampus Hijau. Entah karena gedungnya yang memang serba hijau ataukah karena
banyaknya pepohonan disekitar area kampus hingga disebut demikian? Tapi bukan
itu yang penting. Melainkan, cahaya yang menyorotiku dari dekat sejak aku masuk
didalamnya. Cahaya yang selama ini kunanti-nanti.
Bermula dari seseorang yang tak kukenal. Namun, begitu
dekat. Senyumnya tulus dan menjabat tanganku dengan erat. Namun penampilan yang
aneh menurutku. Ia tak seperti kebanyakan mahasiswi yang ada di kampus ini.
Jilbabnya menjuntai dan berwarna gelap. Namun, begitu anggun terlihat. Hatiku
sejuk dibuatnya. Aku bergumam dalam hati “Ya Allah, bisakah aku seperti dia?”
Pertemuan kami hanya sampai disitu. Dan hingga saat ini,
aku sudah tidak mengingat wajahnya yang teduh. Aktivitas kampus mulai
menyibukkanku. Tapi beruntunglah aku disini. Tidak ada istilah ospek dan
pembulian untuk mahasiswa baru. Ospek tersebut diganti dengan kegiatan yang
bermanfaat yaitu pesantren kilat selama 3 hari. Hmmm, aku betul-betul terkesan
berada disini. Suasana yang islami. Penuh persaudaraan.
Pada saat pendaftaran masuk di PTS tersebut, aku numpang
di rumah salahseorang saudara Almarhumah Bunda. Karena, rumahnya cukup jauh
dari kampus, aku berniat mencari tempat tinggal yang dekat dengan kampusku.
Lewat salahseorang teman seangkatanku, aku mendapatkan nomor handphone seorang
senior yang ada di kampus. Aku akan meminta bantuan padanya. Ternyata dari
sinilah secercah cahaya itu muncul. Bagiku dia sangat baik, suka mengunjungiku
di kos, sering menasehatiku. Aku merasa telah memilki kakak perempuan. Namanya
kak Raihana. Tempat tinggalnya dekat dengan kos-anku. Awalnya aku mengira itu
rumah pribadinya, ternyata bukan. Rumah tersebut adalah rumah dakwah,
sekretariat muslimah Lembaga Dakwah di Kampus, biasa hanya di singkat Sekret.
Satu lagi, orang-orang yang tinggal di dalamnya mempunyai julukan aneh dan
asing ditelingaku, akhwat.
Tarbiyah. Masih samar-samar tentangnya. Pertama kali
kudengar pada saat SMA. Dari salah seorang teman SMPku yang melanjutkan
sekolahnya di Kota. Mungkin sejenis ta’liman atau pengajian, begitu fikirku.
Dan suatu waktu kak Raihana mengunjungiku. Aku mulai mendesaknya, kapan aku
bisa belajar agama? Aku sudah tidak sabar. Dan Kak Raihana hanya menjawab
“InsyaAllah besok ada Daurah, ikut disitu dulu yah”. Ya Allah, apalagi itu
Daurah. Aku ingin belajar, bukan ingin yang lain.
***
Kini,
aku telah mengerti semuanya. Akhwat, Daurah, tarbiyah, dan dakwah. Sekitar 3
bulan telah kulalui. Aku mulai gelisah dengan keadaanku. Belum ada perubahan
yang signifikan. Dari segi ibadah mungkin meningkat pesat, namun disisi lain,
aku masih memakai jilbab yang tipis dan transparan, celana jeans, dan kemeja
ketat. Aku harus berubah.
Hingga
suatu ketika, aku mengisolasi pakaian yang tidak pantas itu. Aku mulai belajar
memakai rok, jilbab menutupi dada, dan memakai kaus kaki. Beberapa pekan
berlalu dengan penampilan seperti itu. Berbekal buku-buku islam yang kupinjam
dari akhwat dan dari banyaknya pertanyaanku mengenai jilbab, sedikit-sedikit
aku telah mengetahui jilbab syar’I yang sesungguhnya. Ya Allah, ilmu-Mu telah
sampai kepadaku. Kapan aku bisa benar-benar hijrah.
Pagi
itu, aku dan Kak Raihana pergi mencari jilbab. Aku sudah membulatkan tekad
untuk segera berhijrah. Aku mengumpulkan uang tabunganku. Mudah-mudahan cukup,
untuk satu barang dua jilbab. Kak Raihana yang memilihkannya untukku. Aku
membawa pulang dua buah jilbab dengan hati diliputi syukur.
Jilbabku
masih tergantung di lemari. Aku masih bimbang. Karena, tidak lama lagi llibur
semester akan datang. Dan itu berarti aku harus pulang ke kampung. Apakah aku
harus berhijrah dulu kemudian pulang kampung? Atau…
Aku masih takut memperlihatkan identitasku kepada
Ayah dan keluargaku yang lain. Ya Allah,mohon petunjuk-Mu.
Beberapa
malam berturut-turut aku bermimpi tentang jilbab. Ada apa ini? Aku mulai
berfikir untuk memakainya sebelum pulang. Aku takut, jika aku terus
menunda-nunda. Jika saja kematian itu datang kepadaku, apa yang harus ku
pertanggungjawabkan di hadapan Allah, sementara ilmu-Nya telah sampai kepadaku.
Tiada yang tahu kapan kita kembali pada-Nya. Kematian serasa begitu dekat.
Dan…aku memutuskan untuk memakainya besok pagi.
***
Pagi
begitu dingin, sejuk terasa di hatiku. Entah mengapa pagi ini beda dari pagi
yang sebelum-sebelumnya, sangat indah. Aku terus melangkah. Ya Rabb,
saksikanlah hamba-Mu ini yang sekarang berpijak di Bumi-Mu, telah melaksanakan
perintah-Mu dengan segenap jiwa dan raganya. Secercah cahaya itu telah kuraih. Hatiku
berbunga-bunga. Tiba di depan pintu Sekret, hatiku canggung dan deg-degan. Apa
yah kata akhwat? Perlahan pintu kuketuk dibarengi salam. Seseorang membukanya
dari dalam. Dari raut wajahnya ia begitu kaget sekaligus bahagia. Ia menyuruhku
masuk. Dan memanggil seseorang yang ada di lantai dua. “Raihana, lihat ini,
siapa yang datang?”. Kak Raihana melongoh di depan tangga. Ia pura-pura tidak
mengenaliku. Ia turun menyambut dan memelukku. Do’apun teriring dari bibirnya
“Barakkalahu fiik, semoga di istiqomahkan dik.”
Hidayah
itu tidak mudah. Butuh kesungguhan untuk meraihnya. Butuh pengorbanan untuk
mendapatkannya. Namun, ada yang lebih sulit dari hidayah itu sendiri.
Istiqomah. Konsistensi kita untuk menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan
larangan-Nya.
Sebuah
nasihat untukmu wanita-wanita shalihah. Jadilah muslimah-muslimah pilihan,
jadilah wanita-wanita dambaan ummat, jadilah muslimah-muslimah yang luar biasa,
wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, wanita yang takut kepada Rabb
Penciptanya, wanita yang senantiasa mengokohkan dan menolong agama-Nya. Semoga
kita adalah muslimah yang mengukir indah sejarah islam, yang senantiasa teguh
diatas sunnah, dan pengikut jejak para salaful shalih.Aamiin.
TAMAT
Facebook : Afyifah Chairunnisa
Twitter :
@Dewisartika_AK
Comments
Post a Comment