(Bukan) Takdirku-Cerpen



 

RANIA

“menikahlah dengannya Ra!”
Aku  menggeleng keras. Air mataku sudah luruh. Hidungku telah meler merembes ke tissue yang kugenggam.
Aku yakin, hanya isakanku yang terdengar di seberang sana.
Bagaimana bisa dia setega itu menyuruhku menikah dengan lelaki lain, setelah sekian lama kami berjuang bersama-sama untuk bisa sampai ke jenjang pernikahan, meski hingga sekarang, ikhtiar kami belum membuahkan hasil. Kami hanya butuh bersabar sedikit lagi.
Terdengar hembusan nafasnya dibalik telepon.
“demi kebahagiaanmu Ra.”
Apa katanya? Kebahagiaanku? Kenapa dia tak bisa mengerti sama sekali perasaanku. Aku mengharapkan dia yang menjadi imamku, bukan lelaki lain.
“kebahagiaan apa yang kau maksud, Fif? Bukankah kita telah bersepakat  untuk terus berjuang bersama-sama?! Apa kau sudah amnesia?” suaraku sudah naik beberapa oktaf lebih terdengar seperti tercekik efek dari tangisanku.
“kau akan bahagia jika bersamanya. Dia lelaki mapan, tidak sepertiku yang hanya kerja serabutan. Dia lebih dewasa, dan bisa mengayongimu. Dia pandai bernegosiasi,insya Allah bisa meluluhkan hati Ayahmu. Dia memiliki kelebihan banyak yang tidak ada pada diriku.” Lelaki bodoh yang sialnya sangat kucintai itu kembali meyakinkanku.
Kukumpulkan segenap tenagaku. Aliran air mata yang keluar sedari tadi, telah berhenti merembes.
“ok. Kalau itu yang kau mau, aku akan menikah dengannya! Puas!” aku setengah berteriak.
Kumatikan sambungan telepon secara sepihak. Dia lelaki yang sangat menjengkelkan. Tapi kenapa aku begitu mencintainya?
***
‘AFIF

“saya terima nikahnya Putri Zantrania binti Mahmud dengan mas kawin tersebut, tunai.” Suara lantang itu menggema hingga kesetiap sudut-sudut masjid. Sakral sekali. Dan sayangnya, bukan aku yang mengucapkan janji suci itu, tapi Angga Praditya. Salah seorang teman yang kurekomendasikan beberapa waktu lalu untuk bertaaruf dengan Rania. Dan sialnya, ide gilaku diterima olehnya. Lihatlah sekarang, aku harus menelan pil pahit atas kebodohanku sendiri, menyaksikan wanita yang selama ini kuharapkan jadi Ibu dari anak-anakku kelak, dihalalkan oleh lelaki lain. Ck.
Ah, untung saja Rania tak terlihat. Mungkin ia masih berada dilantai dua masjid menyimak detail detik-detik ia menjadi nyonya Praditya.
Aku tertegun sejenak, ketika Angga menghampiriku. Memelukku hangat dan mengucapkan terima kasih. Of course. Karena akulah yang mengenalkan Rania padanya.
Aku membisikinya do’a untuk pengantin “barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fii khair”
Kutahan segala gejolak yang ada dalam dadaku. Toh, aku sendiri yang menginginkan ini. Ah, tidak. Takdir yang menginginkan. Dan aku hanya menjalankan.
***
RANIA

“aku pamit, Ra. Jam 2 pesawatku boarding. Jaga dirimu yah. Semoga bahagia selalu. Barakallahu fiik.”
Deretan huruf di Whatsapp itu seketika membuat hatiku ngilu. Ia pergi dihari walimahku. Sekali pengecut tetaplah pengecut. Sungguh, aku benci Lelaki sepertinya. Namun, sebagian hatiku yang lain merasa kehilangan. Hah, cinta dan benci hanya berbatas sehelai benang saja. Beda tipis.
Tetapi perasaanku seketika menguap, ketika memoriku kembali memutar kejadian yang menyakitkan itu.
“kau tak sekufu dengan kami. Yah, meski pun ‘Afif saat ini belum bekerja, tapi kebutuhannya tetap selalu terpenuhi. Harta kami pun takkan habis hanya karena membiayainya seumur hidup. Lalu kau Rania, meski kini kau bekerja di perusahaan besar, kodratmu tetap sama, asalmu tetap sama, perempuan kampung.”
Kalimat panjang itu meluncur langsung dihadapanku, lewat mulut seorang wanita yang telah melahirkan Lelaki yang sangat kucintai. Dan kini aku menyesal, pernah mencintainya.
Detik ini kuberjanji, bahwa hatiku takkan kubagi kesiapa-siapa, kecuali kepada yang Allah telah halalkan, suamiku, mas Angga.
“terima kasih.” Dua kata itu menjadi penutup akhir ceritaku dengan masa lalu.
Duhai engkau, yang pernah datang lalu pergi..
Terima kasih, sudah memberiku pelajaran akan sebuah harga atas setiap pertemuan
Tak ada yang hilang makna. Karena semua dicipta untuk jadi hikmah
Pun tentang kita..
Perjuangan menuju halal sungguh tak mudah
Ikhtiar dan do’a tak terputus siang malam
Tapi apa mau dikata
Jika bukan namamu dan namaku
Yang Allah ukir dilauh mahfudz
Kau memang bukan takdirku
Hanya sekedar ujian dalam hidupku
Semoga kau pun berbahagia
Segera dipertemukan  dengan bidadarimu
Karena Cinta selalu menemukan jalan untuk pulang
Salam perpisahan dariku

Rania
***
‘AFIF

1800 Hari Berlalu..
Bugh!
Aku menghentikan langkah, ketika kedua kakiku tiba-tiba merasa menabrak sesuatu.
Seorang gadis kecil dengan seragam TK dihiasi jilbab mungil di kepalanya,mendongak kearahku.
Celana bagian bawahku terasa dingin. Rupanya tertumpah es krim anak tadi. Aku meringis.
“maaf Oom. Aila tidak sengaja.” Sesalnya sambil menunduk takut.
Kusejajarkan posisiku dengannya. Sambil mengelus kepalanya dengan lembut “tidak apa-apa, ‘Kan tidak sengaja.”
Ia mengangkat wajahnya dan menatapku yang tersenyum kearahnya. Bola matanya yang bening kecoklatan mengingatkanku pada seseorang.
“sama si..”
“Aila!” sebuah suara memutuskan percakapanku.
“ya Allah, nak. Bunda kan sudah bilang jangan lari-lari. Bunda suruh nunggu bentar, malah langsung hilang.” Suara yang tak asing itu mengalihkan perhatianku dari gadis kecil tadi ke sumber suara. Dari arah samping, sosok wanita dengan gamis dan jilbab lebar menghampiriku dan anak kecil tadi. Aku sedikit mendongak melihat wajahnya. Ia pun melihat kearahku.
Tatapan kami bertemu.
Deg.
Aku seperti terendam di kolam es selama berjam-jam. Kaku. Wanita itu menarik tangan gadis kecil yang ada dihadapanku.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dari posisiku. Wanita itu menatap celanaku yang sudah dilumuri es krim.
“ma-maafkan anak saya.” Ujarnya tergagap.
Aku menghembuskan nafas panjang. Hatiku masih sama ketika melihatnya lagi setelah 5 tahun tak bertemu.
“Rania.” Aku mengeja nama yang tak lekang oleh waktu itu. Sementara degup jangtungku berusaha kunormalkan. Khawatir wanita itu mendengarnya.
Pandangannya yang tadi tertuju ke lantai beralih menatapku. Bola mata yang sama dengan gadis kecil tadi. Ah, tentu saja. Mereka Ibu dan anak. Kutelisik wajahnya. Tersirat kelelahan dan beban berat disana.
Aku tahu penyebabnya. Meski kami tak pernah berkomunikasi, tapi semua tentang kehidupannya selalu terdengar di telingaku. Termasuk kepergian Angga setahun yang lalu.
“saya permisi. Assalamu ‘alaikum.” Ia kembali mengangkat suara. Meski lirih, masih bisa terjangkau oleh telingaku.
Ia berlalu dari hadapanku. Mataku masih menangkap sosoknya, ketika ia menyeka ujung matanya dengan jemari.
“wa’alaikum salam warohmatullah.” Balasku pula dengan lirih.
‘Apakah takdir kali ini berpihak pada kita, Rania?’ Benakku bertanya.
***

Haihaihai! aku hadir lagi dengan cerita pendek. seperti cerita sebelum-sebelumnya, yang terinspirasi dari kisah nyata. hihi. karena kita hidup di dunia nyata guys,bukan di dunia transparan. *eh? yang jelas, perpaduan true story yang sedikit dibumbui fiksi, tetap jadi hobbyku dalam menulis cerpen atau pun novel. jangan nanya, aku punya novel atau nggak. yah, jelas punyalah. tapi.. nggak mau aku publish. tanya kenapa, karena malu-maluin. wkwk. alias nggak layak publish. nantikapan-kapanlahkalau ada yang lulus casting. hehe. wokeh. segitu ajah dulu. happy reading guys. please, tinggalkanlah jejakmu duhaipembaca. jangan membuatku kecewa dengan silent readingmu. hiks.




Comments

Popular posts from this blog

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Tak Perlu Definisi (Untuk Yang di Masa Depan #7)