Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)



Semuanya seperti tiba-tiba, mendadak dan saya tidak mempersiapkan apa-apa selain kepasrahan. Mungkin begitu pula kematian jika menjemput. Paginya saya masih menikmati makanan dengan lahap. Sayur bening kacang ijo kesukaan dan sambel pete, mengajar dengan riang, bercanda dan bermain dengan anak-anak murid. Siangnya perasaan tidak enak mulai muncul, hingga beberapa menit kemudian satu tempat kerja sudah panik melihat saya semaput hampir tak sadarkan diri di depan toilet. 
Di ruangan putih itu, yang saya tidak pernah berharap untuk berada di dalamnya sebagai pesakitan, saya tergeletak tak berdaya. Menunggu berjam-jam pelayanan pihak rumah sakit, hingga akhirnya tangan saya sudah beku seperti mayat. Mungkin hidup saya akan berakhir hari ini, begitu fikir saya detik itu. Dan akhirnya, ketika jarum infus menusuk urat, saya tak merasakan sakit. Hebatnya sakit yang saya derita hingga rasa jarum itu hanya bagai gelitik.

Malam menjelang. Bergantian orang-orang membesuk. Dari rekan kerja, teman kuliah, hingga teman pengajian. Semuanya menghaturkan do'a terbaik untuk kesembuhan saya.
Lalu, sekelebat bayangan masa lalu itu muncul. Tentang kekecewaan, amarah, dan kesakitan yang mendalam. Dejavu. Saya merasakan hal yang sama setahun yang lalu. Bedanya, sekarang saya di Rumah sakit, di rawat oleh dokter dan suster, di perhatikan dan diurusi oleh teman-teman, bahkan sampai di suapi. Sedangkan yang tahun kemarin, saya hanya di kamar, banjir airmata, menahan sesak di jiwa, tak bisa bergerak karena yang membantu bangun dari tempat tidur pun tak ada. Berusaha menguatkan punggung yang sudah tak bisa ditegakkan, turun ke dapur memasak bubur untuk dimakan, biar tak mati, biar tak jadi mayat membusuk di kamar. Jangan tanya soal teman atau keluarga. Mereka mengurus diri mereka sendiri. Ya Allah, sungguh hingga hari ini kecewa tersebut belum hilang. Maafkan saya yaa Rabb.
Kembali ke Rumah sakit. Teman-teman bergiliran menjaga saya 24 jam. Bahkan merelakan jam kerjanya untuk menjaga saya. Saya sudah tidak mampu berkata-kata. Persaudaraan di atas keimanan sangatlah berharga. Bahkan tak ada apa-apanya dibandingkan persaudaraan karena sedarah.
Saya berhutang budi kepada mereka. Hutang yang takkan pernah bisa lunas sampai saya mati. Saya hanya bisa meminta, agar Allah membalas mereka dengan kebaikan yang lebih banyak dari apa yang mereka beri.
Banyak hal yang bisa saya dapat dari musibah ini. Salah satunya nikmat sehat yang tidak ternilai. Ketika sehat, kita terluput menjaga nikmat dari-Nya, dan pada saat sakit barulah kita mengeluh ini itu.
sekian dulu cerita malam ini. Alhamdulillah, saat menulis ini saya sudah kembali ke rumah. Berbaring dengan nyaman tanpa jarum-jarum dan selang infus.
Nikmat sehat harus disyukuri dengan beribadah kepada-Nya. 
Diri harus selalu diingatkan karena sering lalai.


Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Tentang Buku "Berdamai dengan Takdir"