Keajaiban Rezeki


.
.
.
Kau kira, siapa yg mau bertahan di tengah sesaknya ibukota. Dengan berbagai macam cara, orang2 mengikhtiarkan hidupnya masing2. Anak2 kumal dg tampang memelas sambil membawa dagangan atau sekedar menengadahkan tangan di lampu merah, sudah jadi pemandangan biasa. Atau para pengais sampah, sisa kotoran borju2 kota, menjadi hal yg wajar. Kalangan menengah keatas tak mau kalah dengan kelas rendahan tadi. Saling menyikut demi mendapatkan kursi agaknya akan menjadi hal bias  pula. Terlebih jika sekedar menggadaikan hidup untuk terlihat wah di hadapan manusia dengan harta riba. Aneka warna. Tak pandang bulu. Tak hirau halal atau haram. Yang penting bisa makan. Lalu, bagaimaaa para lukusan sarjaa dari puluhan PTN dan PTS? Mereka hanya menambah angka pengangguran saja. Karena nyatanya, sedikit sekali yang mau bersusah payah membangun lapangan kerja. Mending tidur enak di rumah.
Tak jauh beda denganku. Lulusan IPK tinggi di salah satu universitas bergengsi Ibukota, tak pernah jadi jaminan, untuk dapat kerja yang cuma2 ongkang2 kaki, lalu akhir bulan bisa gajian. Apatah lagi, dengan penampilan syar'i ditengah abad modern ini. Tentu saja, wanita cantik, berpenampilan menarik, seksi, lebih jadi perhitungan, ketimbang kami yang tertutup seluruh badan. Tapi, seakan semua lupa. Bahwa rezeki itu bukan dari tangan2 angkuh boss di gedung pengcakar langit sana. Tapi dari Pemilik Langit dan Bumi.
9 bulan lalu, aku meninggalkan kampung nun jaun disana, demi membuktikan, bahwa aku bisa mandiri di negeri orang. 4 bulan setelah kelulusan di bangku kuliah, menjadi masa2 pengangguran yang menggalaukan. Rasanya ketika itu, langsung mau nikah sekejap itu  juga, biar ada yang menafkahi. Haha.
Mencari kerja tak semudah angan2. Mentok2buka usaha catering bareng teman2 sekost. Jika dilihat dari hasilnya, sungguh2 tak percaya, bahwa kau masih bisa hidup sampai sekarang di ibukota. Dengannya, semakin menambah yakinku, bahwa hakikat rezeki bukan dari lembaran uang yang kita hasilkan. Bisa jadi berbentuk lain. Ada2 saja bentuknya. Tetangga yangberbagi makanan, undangan makan dari teman2 lama, dan kesehatan adalah rezeki mahal yang dikaruniakan kpd kita. Benar, kan?! Coba tengok orang2 kaya diluar sana. uang mereka habis untuk pengobatan penyakit kelas atas (yang memang cocok untuk kantong mereka).
Jadi, masihkan kita ragu atas rezeki yang sudah Allah jamin?! Sementara amal kita tak pernah kita risaukan, padahal itulah yang patut kita usahakan. Oh, betapa manusia lupa, bahwa rezeki kita tak akan habis, selama nyawa masih dikandung badan. Kalau rezeki habis, berarti ajalmu telah tiba. Sesederhana itu.
Usaha saja, tawakkal saja, tak perlu takut tinggalkan yang haram, karena hakikatnya sama rasanya, hanya cara mengambilnya yang berbeda.

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Tentang Buku "Berdamai dengan Takdir"