Harusnya Aku Bersyukur_Sang Perangkai Mimpi


Harusnya Aku Bersyukur

Oleh : 'Afyifah Chairunnisaa’Al Bugisy

            Mentari mulai bersinar lembut, ketika kumenapaki kota Karaeng, Makassar. Tujuanku kesini untuk melanjutkan studi di salahsatu perguruan Tinggi. Tidak serta merta begitu mudah aku berada disini. Aku butuh waktu beberapa lama untuk meyakinkan Ayah dan  kedua kakak laki-lakiku, bahwa aku akan baik-baik saja di kota. Aku sudah bernazar, jika di izinkan, aku akan istiqomah dengan jilbabku. Tidak lepas pasang lagi. Tidak hanya di pakai jika keluar bepergian jauh. dan akhirnya dengar kerja keras dan do’a yang  tiada henti, mereka akhirnya luluh juga. Tapi, dengan satu syarat. Aku tidak boleh ngekos. Akupun menurut. Kebetulan aku punya keluarga di kota Makassar. Saudara kandung almarhumah Ibuku.kebetulan ia hanya tinggal berdua dengan salah seorang keponakan perempuanku. Anak saudara sepupuku yang tinggal di Kalimantan. Ia masih SMA kelas 1. Dan akupun  akan tinggal disana. Meski kampusku lumayan jauh dengan rumah pamanku, namun aku berusaha untuk bersabar. Harusnya kubersyukur. Dapat tempat tinggal gratis di kota, dan biaya makan tidak perlu lagi kufikirkan.
            Dengan bermodalkan tekad, akhirnya aku berangkat berdua dengan teman SMAku, yang kebetulan juga ingin melanjutkan studi di kota Makassar. Perjalanan dari kampung halamanku ke Makassar memakan waktu kurang lebih 20 jam, sehari semalamlah kira-kira.

***
           
Ternyata tak seindah yang kubayangkan. Beberapa hari  di rumah Pamanku, aku mulai jenuh. Jenuh dengan berbagai peraturan yang sangat ketat di rumah tersebut. Tidak ada pekerjaan yang kulakukan benar dimatanya. Semua serba salah. Aku tiba-tiba teringat Ayahku. Meski Ayah terkesan acuh tak acuh terhadapku, setidaknya, beliau tidak terlalu keras. Aku teringat sewaktu di kampung, biasanya aku curhat lewat buku diaryku tentang perlakuan Ayah padaku. Ayah yang tak seperhatian Ibulah, Ayah yang pelitlah, Ayah yang menganggapku tak adalah, dan sejuta keluh kesahku tentang seorang Ayah. Benar-benar aku seorang manusia yang tak pandai bersyukur. Astagfirullah. Bukankah nasibku lebih baik daripada orang lain, yang sudah tidak mempunyai Ibu sekaligus tak berAyah?! Bukankah nasibku jauh lebih baik daripada anak-anak yang tinggal dikolong jembatan dengan perut melilit. Ya Allah, seharusnya aku bersyukur. Setiap harinya aku masih bisa makan dan tidur nyenyak di dalam rumah. Namun kesadaranku tentang sebuah kesyukuran tidak berlangsung lama. Minggu-minggu pertama, aku masih bebas menumpahkan airmataku di kamar  -aku menempati kamar tamu rumah tersebut- ,Tapi tidak lagi sekarang. Karena aku sudah sekamar dengan keponakanku. Kamar yang lebih kecil dari kamar tamu yang kutempati. Beberapa hari yang lalu, paman menyuruhku pindah ke kamar Icha, keponakanku. Kata beliau, sekedar jaga-jaga, jangan sampai ia kedatangan tamu untuk menginap. Rasanya kian hari makin tersiksa. Belum lagi, rumah pamanku tidak berada di pinggir jalan raya. Aku harus berjalan kurang lebih satu kilometer untuk sampai ke rumah, setelah turun dari angkot.
            Hingga suatu hari…
“Paman mau bicara sama kamu.”
Aku duduk di sofa,  di samping pamanku dalam keadaan diam. Menanti kata-kata selanjutnya.
“Paman sudah tidak bisa menjaga kamu. Kamu kan tahu, paman ini sudah tua,Tidak bisa stress, Tinggi darah, Cepat marah. Paman tidak mau terbebani jika kamu tinggal disini. Coba bayangkan, jika kamu pulang terlambat dari kampus, tentu paman akan kepikiran. Dan tentu saja itu tidak baik untuk kesehatan paman.”

Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan tersebut. Aku masih terdiam. Pamanku melanjutkan perkataannya.

“Paman minta, kamu hubungi Ayah dan kakakmu, biar mereka kemari mencarikan tempat tinggal untukmu.”

Oh Allah. Tak seindah yang kubayangkan. Batinku menangis. Ya.hanya batinku. Tidak sampai keluar air mataku, hanya berkaca-kaca. Kutahu itu hanya sebuah alasan. Bagiku itu sebuah pengusiran halus. Sangat halus. Tak bisa di raba. Tapi dapat di sentuh oleh pekanya perasaanku.

***


            Ya Rabb,,,sungguh besar Kasih-Mu pada hamba yang penuh dosa ini. Kau tunjukkan kembali kuasa-Mu. 3 hari telah berlalu setelah pembicaraan dengan pamanku. Hari ini Tanteku yang tinggal di ujung kota Makassar, datang menemuiku. Ia masih saudara dekat almarhumah Ibu. Ia mengajakku tinggal di rumahnya. Katanya sekalian membantu mengurangi bebannya mengurusi rumah dan bisnis laundrynya. Suami tanteku adalah seorang dosen di salahsatu kampus swasta di kota ini.   Semoga disanalah kebahagiaan itu.
Ada hal yang membuatku risih tinggal di rumah tanteku tersebut. Aku harus sekamar dan seranjang dengan anak laki-lakinya. Ya, meskipun anak tersebut baru kelas 5 SD. Tapi, bagiku tidak etik. Aku hanya pasrah. Aku hanya menumpang disini. Tidak boleh neko-neko.
            Hari-hari kujalani terasa lebih berat dari sebelumnya. Andai ku boleh memilih, aku lebih memilih tinggal dengan pamanku.  Rumah tanteku dua kali lipat lebih jauh dari rumah pamanku menuju ke kampus. Tidak hanya itu, aku harus berjalan melewati gang kecil yang sepi kurang lebih 2 kilometer. Tiap hari harus menyiapkan makanan untuk keluarga tanteku. Membantunya mencuci dan menjemur pakaian. Tapak-tapak kakiku kian hari terasa lelah. Mengarungi hidup penuh uji. Mungkin selama ini aku kurang bersyukur. Dulu, sewaktu di kampung, aku selalu merasa terbebani dengan pekerjaan rumah. Sebagai anak perempuan satu-satunya, akulah yang harus menggantikan peran Ibu, setelah Ibu tiada.  kemudian, Allah membawaku pada takdir yang lain. Tinggal di rumah pamanku. Dan mungkin aku tak bersyukur, hingga Allah membawaku ketakdir yang satu lagi. Numpang tinggal di rumah saudara Almarhumah Ibu. Yang kurasa bagaikan neraka. Aku tak mengapa jika harus mengerjakan semua pekerjaan yang ada di rumah mewah tersebut. Tapi, sikap orang-orang di rumah itu yang membuatku muak. Hingga aku berfikir bahwa semua orang kaya sama saja. Angkuh, terlalu bangga dengan kekayaan yang dimilikinya, kikir, dan sok penguasa. Anak-anak tanteku samasekali tak memiliki sopan santun, suaminya yang super cuek jarang sekali tersenyum, seakan-akan harga dirinya akan jatuh ketanah jika membagi senyum ke orang  desa yang kere sepertiku. Tanteku, hanya di awal-awal saja ia manis. Lama kelamaan, ia jadi pemarah, suka menyindirku, karena kebiasaanku yang hanya di dalam kamar. Ya, biasanya jika pekerjaanku telah selesai,aku lebih suka menyendiri di dalam kamar.dan memang itulah salahsatu kebiasaanku yang tidak bisa kuhindari.
 Ada satu kejadian yang membuatku ingin segera kabur saja dari rumah tersebut. Suatu ketika, saat itu libur akhir semester pertamaku. Aku berniat pulang kampung. Dan pagi-pagi sekali aku bangun untuk siap-siap pergi membeli tiket sekaligus mengambil koper dan beberapa pakaianku  yang belum sempat aku ambil  di rumah paman. Aku berangkat dalam keadaan perut kosong. Sekitar jam Sebelas, semua barang-barangku sudah kebereskan dan tiket sudah kubeli.aku akan pulang nanti malam, biasanya bus berangkat selepas magrib. Karena kebetulan perwakilan busnya dekat dengan rumah paman, aku berniat berangkat dari rumah paman saja. Aku kembali ke rumah tanteku untuk mengambil barang-barangku yang sudah ku persiapkan tadi malam yang kutaruh dalam kantong kresek. Aku tiba di depan pagar. Sambil memukul-mukul gembok pada besi pagar, agar terdengar oleh orang di dalam. Tanteku melongo di pintu.

“ada apa?”

“hmm, anu tante…mau ambil barangku yang tertinggal di kamar, di kantong kresek.” Aku setengah berteriak.

Tak lama kemudian, suaminya keluar. Mengulurkan barang tersebut lewat atas pagar. Tanpa membuka pagar. Hatiku teriris.pilu. kecewa. Begitu tegakah mereka. Membiarkanku kepanasan disini tanpa menyuruh masuk. Padahal saat itu perutku sudah melilit lapar. Dan tenggorokan kering, dehidrasi. Ya Allah harusnya ku bersyukur. Masih diberi kesempatan tinggal dirumah mewah dan makanan lezat setiap hari walau tak kenyang. Setidaknya, aku masih di beri kesempatan untuk mencicipinya. Aku berlalu dengan mata basah. Alhamdulillah.

***

            Saat tiba di kampung, aku menceritakan semuanya kepada Ayah. Ayah tidak kaget mendengar hal tersebut. Ia sudah tahu watak keluarga Ibu yang ada di Kota sana. Sebenarnya Ayah tidak keberatan jika aku ngekos, hanya saja kakak keduaku. Mungkin ia mencemaskan aku, jangan sampai salah gaul atau terkena pergaulan bebas, jika tinggal di kosan. Namun, satu yang membuatku lega, Ayah berjanji akan bicara dengan kakakku. Tapi ternyata tetap saja tidak di izinkan. Saat itu aku mengancam, jika tetap harus tinggal di rumah Tanteku, lebih baik aku tidak usah lanjut kuliah. Hal itu belum juga melunakkan kepala batu kakakku.  Dan akhirnya, aku nekad. Setelah masa libur usai, aku balik ke Makassar, tentu dengan segudang rencana yang sudah kususun rapi. Meski tak mendapat restu dari kakak, aku tetap mencari kosan yang dekat dengan kampusku. Demi menghemat ongkos angkot, begitu alasanku kepada Ayah. Ternyata mencari kos-kosan tak semudah mencari ikan di pasar. Hari berganti, minggu berlalu, tapi belum juga dapat tempat tinggal. Untungnya, ada teman yang berbaik hati untuk menampungku di kosnya untuk sementara. Berhari-hari tinggal numpang gratis di rumah orang juga tidak nyaman. Segan dan malu.
            Mungkin usahaku kurang maksimal. Atau mungkin do’aku yang kurang kusyuk? Kembali aku muhasabah diri. Aku kembali merenungi hari-hariku  hingga aku bisa masuk di salahsatu perguruan Tinggi swasta yang terbesar di Indonesia Timur. Betapa beratnya dulu. Aku mengurus segalanya sendiri. Punya keluarga atau tidak, sama saja. Bahkan aku sempat iri kepada calon Mahasiswa baru yang bersama-sama mendaftar denganku, mereka diantar dan bimbing oleh orangtua mereka. Sempat aku berfikir, jika Ibu masih ada, tentu ia tak membiarkan aku sendiri berangkat ke Kota. Tentu aku tidak bernasib bak anak sebatang kara.  Oh Ibu, aku akan selalu merindukanmu.
            Allah tak pernah tidur. Kasih-Nya tak berbatas, Sayang-Nya tak terhingga. Dan kini kurasakan jua sebuah kesyukuran. Aku tiba-tiba saja teringat sebuah nomor handphone. Nomor tersebut aku dapat dari seorang temanku yang dulu sama-sama mendaftar jadi MABA. Nomor tersebut aku ambil ketika  mau menanyakan kelulusanku masuk di perguruan tinggi. Ternayata nomornya masih ku save. Mungkin ia bisa membantuku.
            Ia bagai malaikat yang di utus Allah untukku, ia bersedia mengantarku mencari kos-kosan dekat kampus.            


***
           
Aku tak menyangka bisa disini. Di  kos-kosan elit dan super murah. Berkat kemurahan Allah. Ibu kos yang baik lagi salihah, tempat yang nyaman dan bersih, air dan listrik murah, sewa kamar bisa di cicil, sangat dekat dengan kampus, pokoknya aman dan nyaman. Ada satu hal yang terlupa olehku selama ini. Aku pernah bernazar untuk istiqomah dengan jilbabku. Dan kini, di tempat tinggal baruku, aku memulainya. Dan disini akupun bebas beraktivitas meski tanpa jilbab. Karena peraturan yang di buat Ibu kosku, dilarang keras membawa tamu laki-laki, kecuali Ayah kandung. Alhamdulillah. Ku yakin, ini berkah sebuah kesyukuran. Bukankah Allah berfirman di dalam al Qur’an, “barang siapa yang bersyukur maka akan kutambahkan nikmat kepadanya…”
Ya Allah, seharusnya sejak dulu aku selalu bersyukur.

selesai             

Comments

  1. belajar nulis. d'tunggu saran dan kritik dr pembaca. syukron...

    ReplyDelete
  2. Kisah mu sama seperti saya ukhti,kunciny hrus sabar n ikhls demi sbuah toga 😊

    ReplyDelete
  3. Iya. Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kita hati yg tak lelah untuk bersabar. Salam ukhuwah ukhty sholihah.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)