Not Us (Stories Of Satria) - CERPEN



            Ia datang, dengan sejuta pesona yang ia bawa. Berhasil membuatku ingin segera mengakhiri masa studi dan datang ke orangtuanya untuk melamarnya. Kau tahu kawan, ia tak sama dengan gadis-gadis yang lain yang ada di jurusan, atau bahkan sefakultasku. Ia berbeda. Sungguh berbeda. Kecantikannya tersembunyi bagai mutiara di dasar lautan. Tak tergapai, kecuali yang bersedia menyelami samudera. Ia terjaga. Tak pernah menyapa lawan jenis, terbahak-bahak, atau nongki-nongki cantik dipelataran kampus, sebagaimana teman-teman perempuannya yang lain. Namun, itulah yang menjadikannya spesial. Mataku tak bisa menatapnya lama. Karena ia seumpama matahari, terlalu silau untuk kupandangi. Tapi, jangan tanya hatiku. Berkebat-kebit tak karuan, ketika mata kuliah portofolio –mata kuliah yang aku sekelas dengannya- tiba. Kami tak pernah bertegur sapa. Karena, ia memang tak mau beritentraksi dengan lelaki mana pun di kelas, kecuali jika dosen membagikan kelompok, dan mau tak mau harus berkomunikasi dengan teman sekelompoknya yang laki-laki. Seperti hari itu. Pembagian kelompok, yang anggotanya harus berpasangan. Satu laki-laki dan satu perempuan. dia pun dapat giliran disebut. Namanya bersanding dengan Rasya- salah seorang teman kelas kami yang aku pun tidak terlalu akrab dengannya. Tapi, yang membuat orang-orang sekelas pada mengernyit heran adalah ketika minggu depannya tiba, ia sudah sekelompok dengan Lasi. Ketika jam istirahat barulah aku mendengar teman-temanku pada membicarakannya,kalau ia menelfon Ibu Hana- dosen Portofolio kami, untuk diganti teman kelompoknya. Ia selalu berbeda.
“Sat!” sebuah panggilan mengiterupsi lamunanku. Kami masih di kelas, menunggu kedatangan Ibu Hana. Ini pertemuan terakhir di semester 6. Aku masih fokus di depan layar laptop. Tak menanggapi panggilan tersebut.
“Satria!” suara gadis tersebut makin keras menyerukan namaku. Aku mendongak menatap sumber suara. Tampak Tasya menatapku kesal karena mengabaikan panggilannya. Teman-teman kelas pun ikut menatapku dan Tasya karena panggilan gadis itu, termasuk dia.
“mmm.. buku kamu yang pernah aku pinjam, belum sempat aku kembalikan. Minggu depan saja, yah?” Tasya tampak tak enak hati ditatap orang-orang disekitar.
Aku hanya bergumam lirih. Lalu fokus kembali ke pekerjaanku yang belum selesai. Malas menanggapi ocehan tak penting Tasya.
Otakku sudah melesat jauh dari isi tugas kuliah yang ada di depan mata. Fikiranku kini berisikan si dia yang tadi sempat kulihat dengan ekor mata, menatap kearahku. Aku kenapa sih?
Terdengar langkah kaki menuju ke kelas, kukira Ibu Hana, ternyata Ketua Tingkat kami.
Ia berjalan ke depan kelas, menginformasikan bahwa Ibu Hana tak jadi masuk, dan menggantinya dengan sebuah tugas yang harus diselesaikan juga hari ini. Teman-teman pada berkoor ria. Terbebas dari Ibu Hana yang terkenal dengan kekillerannya adalah salah satu hal yang menggembirakan.
“Aira!” Ketua Tingkat menyebut nama gadis yang paling dekat dengan tempatnya berdiri.
Huffftt. Mendengar namanya saja membuat jantungku berkebat-kebit.
“Oke.” Hanya itu jawabannya ketika ketua Tingkat kami menyuruhnya mengeluarkan kertas selebaran untuk Absensi.
Jarang mendengar suaranya saja membuatku hampir gila, apalagi jika ia sudah berbicara panjang lebar. Bisa-bisa, aku masuk di koran kampus, dengan pemberitaan “Satria Wijaya, Mahasiswa Ekonomi tingkat 3 meninggal secara mendadak karena serangan jantung.”
Aku menggeleng cepat. Mengenyahkan fikiran yang tidak-tidak itu. Ck. Aku benar-benar gila.
***
“Sat, gue harus gimana?”
Reza terdengar frustasi sekali. Tiba-tiba saja dia masuk ke kamar kosku dengan kondisi kacau sekali. Aku hanya mengernyit bingung melihat tingkahnya yang tidak seperti biasa.
“bantuin gue dong Sat. Gue bisa gila lama-lama!”
Aku masih bergeming di kasur, memainkan game online di smartphone milikku seperti sebelum kedatangan Reza. Teman satu jurusanku tersebut tiba-tiba merebut HP di tanganku sambil berdecak kesal.
Aku menatapnya tajam. Anak ini Hobbi sekali mengganggu ketenangan orang.
“iya, lo kenapa?” akhirnya aku mengangkat suara.
Wajahnya terlihat makin menyedihkan.
“Aira, Sat.”
“Aira?”
“Iya. Aira. Aira Dianti Kusuma. teman satu konsentrasi elo..”
Mendengar nama itu, cerita Reza tentang penyebab kondisinya semengenaskan itu, semakin samar-samar ditelingaku. Aku sibuk dengan fikiranku sendiri. Kenapa harus gadis itu?
***
Wisuda Sarjana
Aku memperhatikan gerak-geriknya dari ia naik keatas panggung untuk menerima penghargaan sebagai salah satu Mahasiswi Cumlaude, sampai ia turun, kembali bergabung dengan para Mahasiswa yang di wisuda hari ini. Ia berbeda. Selalu. Tanpa kebaya dan aksesoris berlebihan seperti umumnya mahasiswi-mahasiswi yang di wisuda. Jilbab hitam dengan wajah tertutup, serta jubah hijau tosca.
“Hei, liatin siapa bro?”
Aku tersentak dari lamunanku. Menoleh kebelakang, ternyata Reza disana dengan cengiran khasnya. Aku tak menanggapi pertanyaannya. Berpura-pura fokus kembali dengan acara yang telah berlangsung.
Reza mendekatkan bibirnya ditelingaku sambil berbisik.
“Bulan depan gue mau lamar Aira.”
Jantungku mencelos. Apa yang dikatakan Reza tadi? Aku ingin amnesia saja dan lupa perasaanku terhadap Aira, kalau sudah begini.
***
 6 bulan Pasca Wisuda
Chat di grup line Kelas Konsentrasiku pada saat kuliah berentetan masuk. Grup tersebut memang belum dihapus. Katanya biar perteman kami tetap terjalin meski pun hanya lewat dunia maya. Sepertinya ada berita menghebohkan. Mengingat semenjak selesai kuliah, jarang sekali grup tersebut “hidup”.
“Wah! Selamat sayang. Semoga dilancarkan hingga hari H.”
“cepet bener Ra. Nggak kerja dulu?”
“congratulation beb. Teman unyuku yang paling baik.”
“waw. Gercep bener tuh cowok. Patah hati Abang, dek.”
“Selamat Aira.”
“selamat Aira (2).”
“Selamat Aira (3)”
“Selamat Aira (4)”
“hei, yang kreatif dong. Kebiasaan nyontek kalian pas kuliah. Coment ajah pake copas.”
“halah. Sensi amat lo bro. Jangan-jangan lo patah hati juga. Hahaha.”
Tentang Aira lagi. Gadis yang mengacaukan perasaanku dua tahun belakangan ini.
Aku belum mendownload picture yang Aira kirim di grup. Aku takut menerima kenyataan yang menyakitkan. Padahal aku sudah menduga. Aira dan reza akan menikah, seperti yang dikatakan Reza dulu ketika acara wisuda bahwa ia ingin melamar Aira. Aku merutuki diriku yang menye-menye begini. Lalu apa masalahku kalau Aira akan menikah dengan Reza? Berarti mereka memang berjodoh, bukan?!
Aku menscroll layar Smartphoneku keatas. Mencari picture yang menghebohkan teman-temanku di grup. Dapat. Proses loading berlangsung. Dan.. selesai.
Aku menahan nafas. Mataku membulat melihat nama Lelaki diatas nama Aira. Bukan Muhammad Reza Adiyaksa. Tapi sebuah nama yang juga tidak asing bagiku. dr. Arkana Putra Pratama. Kakak kelasku di SMA, mantan ketua Rohis, Seniorku di club judo, dan teman main basketku setiap akhir pekan di lapangan kampus. Semua orang yang mengenalnya akan terkesan padanya. Tampangnya yang sering membuat cewek-cewek di sekolahku berteriak histeris dipinggir lapangan basket ketika dia mendribel bola, sebanding dengan ketaatannya dalam beragama. Oh, tidak! Tubuhku terasa mengkerut. Aku tidak ada apa-apanya dibanding kak Arkan. Dan Aira pantas bersanding dengannya.
Ternyata bukan aku atau pun Reza, tapi yang lain.
Aku penasaran, bagaimana reaksi seorang reza ketika mendengar kabar ini?
Semoga dia tidak berniat menenggak obat pembasmi serangga, setelah mengetahuinya.
Lalu aku, mungkin khayalanku sewaktu kuliah akan jadi nyata. Terbitan koran Kampus yang bertajuk “seorang Alumni Fakultas Ekonomi Universitas A , mendadak kena serangan jantung, ketika mendapat kabar bahwa calon istri idamannya dinikahi kakak seniornya”. Ck. Aku melempar tubuhku ke kasur. Pura-pura pingsan.
-End-
Hahaha. Kasian yah si Satria. Padahal dia yang cerita, tapi ternyata bukan tokoh utama. Wkwk. Tenang ajah Sat. Nanti aku buatkan cerita khusus untukmu, yang endingnya kamu beneran kena serangan jantung. Eh, enggak ding. Aku tak sejahat itu. Dibuat happy ending deh. Ketemu cewek yang sesuailah dengan dirimu. Mungkin Tasya. Siapa tahu, dia punya perasaan lebih terhadapmu. *kedipmandja. Jangan sedih yah. Mending samperin si Reza. Jangan sampai dia minum baigon beneran. Wkwk. Yang ingin menyembuhkan luka Satria atau Reza, silahkan hubungi aku. Nanti dipersambungin, biar mereka datang ke rumahmu, memintamu pada Ayahmu. Asseek. *digelindinginreaders
Mungkin, kalian pada bertanya-tanya, kenapa akhir—akhir ini nulisnya cerpen melulu. Jadi gini guys, aku tuh orangnya moody-an. Banyakan di PC tulisanku-yang rencananya di buat novel- kepending terus. Banyakan judul doang plus satu halaman cerita yang nggak sampai-sampai. *seperti jodohku yang tak sampai-sampai hiks
So, aku jadi berubah alur. Cerita yang harusnya jadi novel kurampingkan saja jadi cerpen. Biar nggak mubazir di PC. Ya. Seperti itulah.
Buat kalian yang punya kisah menarik dan penuh hikmah, bisa di share ke aku. Nanti ditulis (atau kalau mau nulis sendiri juga boleh). Nama kalian pasti aku cantumin. Nggak ada fee-nya yah. Soalnya aku nulis di blog ini nggak ada gaji. Buat happy-happy ajah dan menyalurkan hobby menulis. Kalian berminat? Enggak yah? Ya sudah. Bye.

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)