Apakah "Aku" Memiliki Kelainan? (The True Story)
Obrolan kami di sore hari itu, di dalam kamarku, sungguh
tak terencana. Semalam dia menghubungiku, mengabari bahwa salah seorang teman
sekolah kami dulu, akan melangsungkan pernikahannya hari ini. Maka, seperti
sebelumnya, ketika kami bepergian berdua, maka akulah yang menjadi supirnya. Obrolan
dalam Perjalanan menuju tujuan tak terlalu intensif, barulah ketika kami pulang
ke rumah mengalir cerita-ceritaku, lebih tepatnya curhatanku tentang soal
jodoh. Haha. Disini, aku belum mendapati sikapnya yang berbeda atas curhatanku
diatas kendaraan tersebut. Maka, sesampai di rumah, kami melanjutkan
cerita-cerita ringan, perihal kerjaan, dan sesekali kuselip pertanyaan menjebak
soal jodoh (lagi-lagi).
Maka, cerita yang awalnya ringan-ringan saja, menjadi
lebih berat. Bahkan aku tercengang atasnya. Kok bisa? Apa yang terjadi? Apa
yang melatar belakangi hal tersebut? Bla bla bla.
“aku menyadari gangguan
(kelainan) pada diriku, hanya saja aku menepis fikiran-fikiran buruk yang
tiba-tiba melintas.” Katanya menanggapi keterherananku.
“kamu harus melakukan
teraphy pada dirimu sendiri sekarang. Bukan pada pasienmu, ibu.” Yah. dia
seorang psikolog.
“tapi, aku merasa bahwa
ini hanya buah dari fikiran-fikiran burukku saja” ia mengelak. “emm..
menurutmu, normal-normal saja bukan, jika teman perempuan dekat kita, akrab
dengan perempuan lain, lalu kita merasa cemburu, ah tidak, maksudku, merasa..
tersingkirkan.. atau.. apa yah namanya? Pokoknya perasaan tidak nyaman.
Misalnya kau dekat dengan fulanah, aku merasa cemburu. Tapi bukan karena aku
menyukaimu.” Tuturnya.
“menurutku itu tak
lumrah. Karena aku tak merasakan hal tersebut. Ketika teman dekatku, memiliki
teman dekat yang lain, aku merasa baik-baik saja.” Atau aku yang memiliki
kelainan? Hahaha.
“tapi, aku yakin, aku
masih normal.”
“lalu apa yang
melatarbelakangi kau tidak ingin menikah?” akhirnya keluar juga pertanyaan inti
pembahasan kami sedari tadi.
“aku sekarang bahagia.
Tak butuh apa-apa. Tak kekurangan apa-apa. Berada di zona nyaman. Dan aku tidak
mau, ketika menikah, justru membawa banyak masalah dalam hidupku.”
“subhanallah. Berarti
kau tak ingin menikah, hanya karena tak ingin keluar dari zona nyaman-mu? Kau
tahu, aku seseorang yang juga sulit keluar dari zona nyaman, meski disisi
lain-ku, aku menyukai tantangan. Hidupku di kota adalah zona ternyamanku.
Pekerjaan dengan posisi sebagai manager keuangan dengan gaji lumayan,
teman-teman yang baik, lingkungan yang baik, majelis ilmu dimana-mana yang bisa
kuhadiri kapan saja, tanpa ada tekanan dan larangan dari tempatku bekerja,
bebas dengan ideologiku, bebas beribadah tanpa gangguan. Lalu, aku pulang
kesini. Ke kampung kita yang terpencil ini, tak ada teman bergaul, dibicarakan
oleh orang-orang kampung karena ideologi yang berbeda, tak ada pekerjaan selain
di rumah mengurus dapur, cucian yang menumpuk, dan menulikan telinga dari
kebisingan musik, judi, dan maksiat lain. Untuk apa aku melakukan itu semua?
Menurutmu untuk apa kawan? Satu alasan saja, aku memiliki orang yang
satu-satunya Rabb kita perintahkan untuk berbakti padanya, yaitu orangtua,
pintu syurgaku yang tersisa satu, Ayahku. Aku harus merelakan segala arogansi
dan obsesiku terhadap hal-hal yang menyenangkan dalam hidupku untuk mengurusi
satu orang tersebut.”
“kita ini perempuan.
Bakti kita tak banyak waktu. Ketika di dunia kita ditakdirkan untuk menikah,
maka bakti itu beralih kepada suami, maka kupergunakan waktu ini
sebaik-baiknya, untuk meraih syurga dari satu pintu-ku yang tersisa.”
Sambungku.
“kutanyakan padamu, apa
orientasimu kedepan? Seperti ini saja? Kau kira, ketika kau menua, masih ada
jaminan Ayah-Ibumu masih ada? Dan adik-adikmu, kakakmu, bukankah mereka juga
akan berkeluarga, hidup dengan keluarga mereka masing-masing? Lalu kau, jika
tak berkeluarga, tak ada keturunan, siapa yang akan mengurusimu di masa tua?”
aku mencercahnya dengan segudang pertanyaan.
“ya.. ya.. aku paham.
Aku tahu soal itu. Kita harus melanjutkan generasi, kita harus mencari syurga dengan
menikah, karena disanalah syurga perempuan, bakti kepada suami, bahkan
perempuan bisa memilih pintu syurga mana saja yang diinginkan. Hanya saja...
aku tak punya niat, tak ada keinginan, tak seperti yang lain, yang begitu
menggebu-gebu menikah di usia segini. Yah, aku tahu, aku sudah terlalu dewasa,
tapi.. kenyataannya,memang aku tidak bisa.”
“jika saja, tiba-tiba
ada yang datang ke rumahmu untuk melamarmu, apa yang akan kau lakukan?”
telisikku.
“mungkin aku
menolaknya.” Jawabnya.
“menolaknya? Dengan
alasan tidak syar’i. Apa yang kau tunggu? Ah, aku benar-benar tidak mengerti,
kawan.”
“ya. Menolak dengan
alasan tidak syar’i. Akan kukatakan, aku memiliki gangguan (kelainan).”
Candanya, yang diiringi tawa kami yang membahana di atap seng.
“bukannya, sewaktu
jaman sekolah dulu, kau ada pacar?” aku mulai menggodanya.
“pacar apaan? Itu kan
kerjaanmu dan si fulanah yang mengerjaiku seakan-akan aku menerimanya.” Ujarnya
kesal. Yang kutanggapi dengan pingkalanku, teringat jaman sekolah dulu.
“iya sih. Kamu memang
belum pernah pacaran selama ini. Alhamdulillah. Tapi saranku, kau harus ruqyah
mandiri. Siapa tahu, ada jin yang bersarang ditubuhmu. Seperti para LGBT yang
kena gangguan jin, dan harus di ruqyah.” Candaku.
Obrolan kami terputus,
dengan masuknya waktu ashar. Sehelai do’a untuknya, semoga ia baik-baik saja.
Normal seperti kami, para wanita pada umumnya, yang selalu menjadikan bahasan
utama dan paling menarik yakni pernikahan diusia yang hampir seperempat abad
ini, menjadikan pernikahan idaman kami di masa depan, membangun syurga sebelum
syurga bersama seorang pangeran dan malaikat-malaikat kecil. Allahumma aamiin.
Bumi Allah
Ujung rabiul awal 1438
H
Comments
Post a Comment