NASIHAT TANDA CINTA



           
Di setiap kesempatan, saya ingin selalu tampil mengambil bagian dari kebaikan yang kecil sekali pun. contohnya memberi nasihat ke teman-teman dan sahabat-sahabat saya. Tapi, terkadang saya lupa diri. Tidak melihat kapasitas diri saya yang juga sebenarnya sangat butuh nasihat. Saya selalu menyiapkan kata-kata yang indah didengar ke mereka, namun ketika kondisi saya terpuruk, tak ada yang menguatkan. Sedih rasanya. Ketika masih bergabung di organisasi dakwah kampus dulu, paradigma mengenai nasihat-menasihati sangat kental dikalangan kami. Namun, entah kenapa semuanya berubah setelahnya setelah saya berpindah haluan. Mungkin saya memang belum menemukan “teman seperjalanan” ditempat ini, yang mau memberikan apa saja kepada saudari seimannya hatta hal sekecil sekali pun, kalimat nasihat.
            Kemarin, terjadi masalah yang cukup rumit. Salah seorang saudari membuat sesuatu yang mencoreng muka kami semua sebagai teman dekatnya. Bagaimana tidak, di tempat ngaji kami, tentu sudah menjadi pemahaman bersama, atas dasar dalil-dalil shohih baik Al Qur’an maupun hadits nabi, perempuan dilarang “pamer diri” dimedsos. Sekali pun behijab. Sekali pun bercadar.
            Maka, salah seorang teman menyuruh saya untuk menegurnya untuk menghapus foto tersebut. Saya katakan, bukan begini cara saya memberi nasihat, yakni menyuruh. Karena siapa pun orangnya, pasti mereka tidak suka dibawah kendali orang lain. Jadi, yang perlu kita lakukan mengetuk pintu kesadarannya. Hingga dia bergerak berbenah diri bukan karena diri kita, melainkan atas kesadaran dan tentunya karena Allaah semata.
            Akhirnya, saya menulis status di salah satu akun medsos saya tentang hal ini. “jika ada yang justru semakin buruk keadaanya setelah ngaji, bukan berarti tempat ngajinya yang mengubahnya seperti itu. Melainkan karena dirinya sendiri yang memperturutkan hawa nafsu, mengejar popularitas, sanjungan manusia, dan cinta makhluk. ‘ilmu yang didapatkan di majelis tak berberkah, karena tak menjadikan keimanannya lebih baik. Nasihat tak mempan lagi untuknya. Hatinya kering dan bisa sewaktu-waktu mati jika tak segera mendapatkan obatnya. Maka jangan lelah meminta hidayah dan taufik-Nya. Jangan lelah untuk istiqomah. Karena tak ada yang tahu bagaimana akhir hidup kita. Baik atau buruk? Allahul musta’an.”
Dan status tersebut mendapat respon dari “tersangka” yang saya buatkan status. Dia ngechat saya, dengan emoticon nangis. Ia bertanya apakah saya sudah lelah menasihatinya secara pribadi? Saya jawab, ya. Karena manusia punya batas kelelahan juga. Dan tidak selamanya saya harus menguntit dibelakangmu, mengawasi segala gerak-gerikmu, lalu kunasihati. Begitu kataku. Namun akhirnya, mengalir lagi kalimat-kalimat panjang untuknya. Dan sejatinya, nasihat tersebut kutujukan pada diri sendiri yang banyak lalai ini.
“ittaqillah haitsu ma kunta. Bertakwalah dimana pun kamu berada. Sejatinya orang mukmin selalu menyertakan Allah sebagai pengawasnya. Hingga takut tergelincir kedalam maksiat sebagaimana takutnya ia digelincirkan ke dalam neraka. Ya Allah... ukhti, sebenarnya saya takut menasihati dirimu, karena saya pun tak luput dari dosa. Maafkan saudarimu yang lemah ini.”
Lalu dia balas, bahwa dia banyak berubah setelah saya pergi. Dan ia merasa lelah dan tak tahu mau memulai dari mana untuk kembali.
“janganlah berubah karena saya. Justru kata-katamu membuat saya merasa bersalah. Seakan-akan saya adalah segala-galanya. Suatu saat, bukan hanya jarak yang jadi pemisah, tapi kematian. Saya tidak mau diadili di akhirat karena membuat seseorang berubah bukan karena Allaah. Luruskanlah niat. Benar-benar berhijrah karena-Nya. Akan indah sekali jika kita meneguk manisnya iman. Bukan sekedar kamuflase dihadapan manusia agar kita terlihat wah.dikenal dikalangan manusia tidaklah abadi. Jangan jadi pengejar dunia yang hina ini. Berapa lama sih kita hidup? Tidak lama ‘kan. Kalau pun Allah beri umur panjang sampai 60 tahun, berapa lagi yang tersisa.sebentar sekali. Sementara ketika kita pergi, keluarga akan menangisi sebulan dua bulan, teman-teman mungkin sehari dua hari, kemudia lupa jika kemarin ada akhwat yang namanya fulanah. Kepopuleran itu hanya sementara.” Begitu kata saya kepadanya. Dan respon terakhirnya sudah tidak saya gubris.
Sebuah tulisan kecil dari salah seorang teman medsos, menurut saya cukup mewakili keadaan saya saat ini. Begini katanya :
“sabar dalam menuntut ilmu. Sabar dalam mengamalkan. Dan sabar dalam menghadapi gangguan manusia karenanya. Dan juga sabar dalam mendakwahkan. Ilmu itu buat kita amalkan dan yang paling berhak kita dakwahkan adalah keluarga dekat kita. Semntara teman, hanya sekedarnya saja. Sampaikan sekali, kalau tidak mau ya tinggalkan, karena hidayah bukan hak kita. Karena yang ditanya nanti bukan tentang si fulan/fulanah tapi tentang diri kita dan keluarga kita. Jangan membebani diri untuk menasihati semua orang, sampaikan sekali, kalau tidak mau tinggalkan. Do’akan saja yang terbaik.”
Saya ingin menutup tulisan ini dengan kalimat cinta. Bahwa, setiap nasihat yang keluar adalah untuk menampar diri sendiri dahulu, baru kemudian menampar orang lain. Menampar agar diri kita tersadar. Karena kita mencintai kebaikan dan menginginkan kebaikan tersebut ada pada diri kita. Dan tentu muaranya karena kita mencintai diri kita. Begitu pun kepada saudari seiman. Menasihati bukan karena hasad, benci, atau ingin menyudutkannya. Melainkan karena menginginkan kebaikan untuknya, dan tentu saja karena kita mencintainya, semata-mata karena Allaah.
Uhibbukunnafillah akhawatiy, dimana pun kalian berada.
Saudari kalian yang tak luput dari dosa,
‘Afyifah

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)