Flashback tentang Perjuangan yang manis, Semanis tegukan Iman
Bismillah..
Entah
mulai darimana saya bercerita. Benarlah, bahwa roda itu berputar. Hidup pun
begitu. Ada yang maju selangkah, lalu mudur 10 langkah, hingga maju lagi 100
langkah. Atau hidup sejahtera lalu bangkrut. Ataukah hidup susah hingga sukses.
Jatuh bangun itu sudah jadi sunnatullah kehidupan. Seperti pahit manis, dan
sedih senang. Tak ada yg abadi. Setiap saat berganti.
Jatuh
– bangun – bertahan – jatuh lagi, sudah jadi fase yang kulalui. saya tak sendiri.
Allah beri seorang saudari yg senantiasa menemani. Ah, tentu karena kami
senasib sepenanggungan. Sama-sama anak rantauan. Pasca wisuda adalah masa sulit
yang harus dilalui, mengingat bahwa mencari pekerjaan di kota tak lah mudah.
Kami berusaha tuk survive di bawah tekanan ekonomi dan ujian dari keluarga
tentang hijrah kami. 6 bulan kami lalui pontang-panting. Kadang hanya bisa
menangis dalam sujud-sujud kami, mengadukan keluh kesah kepada sang Pemilik
Jiwa ini, atau saling menguatkan dengan kalimat motivasi. Perjuangan kami tak
mudah. Dan sungguh ujian hidup ini berat. Terutama untuk kami makhluk Allah
yang lemah –wanita. Jualan sana-sini demi sesuap nasi. Bahkan, kadang-ketika
adek junior datang ke kosan menjenguk- mereka geleng-geleng kepala melihat kami
yang tetap mau bertahan dengan kondisi seperti itu.
“Kenapa
tidak pulang saja ke kampung halaman? Berkumpul dengan keluarga, dan menikmati
hidup di rumah saja?” pertanyaan itu kerap muncul. Dan satu-satunya alasan kami
bisa bertahan adalah Lillah. Ya. Semua karena Allah. karena kecintaan kami pada
agama ini. Kecintaan kami akan syariat yg mulia ini. Kecintaan kami akan sunnah
nabi.
Kawan,
bisakah kau memahami? Kami disini, meski tak berlimpah kemewahan akan dunia,
namun hati kami lapang, jasad kami senantiasa sehat, jiwa kami tentram, karena
dengan segala kenikmatan dari-Nya, kami bisa beribadah dengan tenang, berhijab
syar’i tanpa ada gangguan, menjalankan syariat tanpa ada yang mengusik.
Sedangkan di kampung, kami harus melawan orangtua kami karena banyaknya
kesyirikan, kebid’ahan, kurafat, belum lagi hijab kami yang tidak diterima. Bukan
kami tak mau berdakwah di tengah keluarga? Namun, ketidak siapan ilmu dan
mental kerap membuat nyali kami ciut.
Satu
yang kami tahu, bahwa kami tak ada niat durhaka kepada orangtua, namun kami
luruskan niat selurus-lurusnya, bahwa kami hanya ingin menyelamatkan agama
kami, bahwa kami hanya ingin berhijrah karena-Nya. Itu saja. semoga ini bisa
jadi hujjah dihadapan Rabb kami kelak.
Sekian.
Makassar
19
juli 2017
___
tulisan ini kupersembahkan pada teman seperjuanganku. peluk sayang dan rindu untukmu yang di tanah luwuk.
Comments
Post a Comment