Dia... Kembali!

Dia kembali.

Memaksaku mengenang memori-memori silam yang penuh luka.
Aku menatap kosong ke dalam gelas yang berisi cairan putih yang sedari tadi kusesap.
"Aku tak ingin mengingat lagi tentangnya." Ujarku pada Hana yg menemaniku di dapur. Kami baru saja menyelesaikan makan malam bersama.
"Blokir saja. Supaya dia tak menghubungimu lagi." Hana memberi saran.
"Aku benci padanya, Han. Aku terlalu sakit untuk menerimanya kembali." Kataku lagi dengan suara bergetar. Mati-matian kutahan agar bendungan di mataku tak tumpah.
"Kau tak boleh menangis. Dan kuingatkan padamu, jangan terlalu membencinya. Bukankah kau pernah diposisi dimana kau begitu jatuh cinta padanya?! Hatimu bisa saja berbalik lagi nanti." Hana memberiku wejangan serius. Bagiku sangat serius karena kami sehari-hari tak pernah berbicara seserius ini. Aku hanya menanggapinya dengan tawa sumbang.
"Iya. Kita tidak tahu masa depan, bukan. Tak ada yang tahu perihal jodoh."
"Benar. Dan tidak ada yang tahu pula mana yang lebih dulu menghampiri, pernikahan ataukah kematian."

Obrolan kami terus berlanjut mengenai kegagalan-kegagalan yang telah lalu. Maka, bagi kami itu adalah pelajaran berharga. Bisa jadi Allah ingin berikan yang terbaik, sebagaimana yang selalu kita pinta dalam do'a-do'a. Begitu kata Hana dilain kesempatan.

Maka, dia yang kembali datang, kutak peduli. Jika memang dia menginginkanku atas nama Allah, tentu dia tak tempuh cara yang dibencinya. Jika saja dia ingin hubungan kami atas ridho-Nya, akan dia temui yang berhak untuk ditemui, bukan mengacaukan hatiku dengan silih berganti datang dan pergi.

Sekian tulisan ini. Harap dimaklumi kalau tak berkenan di hati.
Permisi.

Makassar, 23 September 2018

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)