menuntut ilmu "again"


                     Siapa sih sebenarnya Salaf itu?    
Dan apa yang di maksud dengan manhaj ahlulssunnah wal jama’ah?
(bagian 2)
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sudah sering kita dengar. Banyak orang atau kelompok yang mengaku berada di atas pemahaman/manhaj Ahlus Sunnah. Terkadang timbul konflik akibat pengakuan-pengakuan tanpa bukti semacam ini. Masing-masing merasa dirinya di atas kebenaran, sedangkan kelompok lain adalah menyimpang. Namun, yang lebih penting untuk kita kaji sekarang adalah, apakah di dalam diri kita sudah terdapat ciri-ciri Ahlus Sunnah?!
[1] Bersatu Di Atas Kebenaran
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang suka memecah-belah agama mereka sehingga menjadi bergolong-golongan maka engkau (Muhammad) sama sekali tidak termasuk bagian mereka.” (QS. al-An’am: 159).
Allah ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah secara bersama-sama dan jangan berpecah-belah.” (QS. Ali ‘Imran: 103).
Allah ta’ala berfirman,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia! Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan memecah-belah kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am: 153).
[2] Kebenaran Yang Harus Kita Ikuti
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Barangsiapa yang menaati Allah dan rasul, maka mereka itulah orang-orang yang akan bersama dengan kaum yang diberikan kenikmatan oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Dan mereka itu adalah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69).
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115).
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul serta ulil amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya. (QS. an-Nisaa: 59).
Allah taala berfirman,
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
Dan apa pun yang kalian perselisihkan maka hukumnya adalah kepada Allah. (QS. asy-Syura: 10).
Allah taala berfirman,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai, dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat. (QS. al-Fatihah: 6-7).
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syariat yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, bukan dengan hawa nafsu dan bidah-bidah. (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117)
[3] Menjunjung Tinggi Tauhid
Jalan yang lurus adalah jalannya orang-orang yang bertauhid. Merekalah orang-orang yang telah merealisasikan kandungan ayat Iyyaka nabudu wa Iyyaka nastain di dalam hidupnya. Adapun orang-orang musyrik adalah kaum yang dimurkai dan tersesat dari jalan Allah (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 54).
Allah taala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut. (QS. an-Nahl: 36)
Allah taala berfirman memberitakan ucapan Nabi Isa alaihis salam,
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ إِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ
Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah aku. Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus. (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS. Az-Zukhruf: 63-64).
Syaikh as-Sadi rahimahullah berkata, Inilah, yaitu penyembahan kepada Allah, ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada rasul-Nya merupakan jalan lurus yang mengantarkan kepada Allah dan menuju surga-Nya, adapun yang selain jalan itu maka itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke neraka.(lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 132)
Allah taala berfirman,
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ
Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian, wahai keturunan Adam; Janganlah kalian menyembah setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Dan sembahlah Aku. Inilah jalan yang lurus. (QS. Yasin: 60-61).
Syaikh as-Sadi rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud menaati setan itu mencakup segala bentuk kekafiran dan kemaksiatan. Adapun jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah, taat kepada-Nya, dan mendurhakai setan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 698)
Sebuah realita yang sangat menyedihkan adalah banyak diantara kaum muslimin di masa kita sekarang ini yang mengucapkanIyyaka nabudu wa Iyyaka nastain, akan tetapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan kandungan maknanya sama sekali. Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah semata. Mereka beribadah kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang berdoa kepada Rasul shallallahu alaihi wa sallam, Husain, Abdul Qadir Jailani, Badawi, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa yang tidak akan diampuni pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19-20)
[4] Memadukan Ilmu dan Amal
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, Orang yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal namun meninggalkan ilmu. (lihat Syarh Badhu Fawaid Surah al-Fatihah, hal. 25)
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahuanhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Pada hari kiamat didatangkan seorang lelaki lalu dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia berputar-putar seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para penduduk neraka berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, Wahai fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang maruf dan melarang yang mungkar?. Dia menjawab, Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang maruf tapi aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang yang mungkar tetapi aku justru melakukannya.. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sufyan bin Uyainah rahimahullah mengatakan, Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi. Ibnul Qayyim mengatakan, Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya. (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
[5] Memuliakan Para Sahabat
Allah taala berfirman mengenai para Sahabat dalam ayat-Nya,
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
Sungguh, Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu. (QS. al-Fath: 18).
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/baiat di bawah pohon itu -yang dikenal dengan Baiatur Ridhwan- adalah 1400 orang. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang [para sahabat] yang ikut berbaiat di bawah pohon itu. (HR. Muslim) (lihat Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 469)
Imam Bukhari membuat sebuah bab dalam Shahih-nya dengan judul Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar (lihatFath al-Bari [1/79]). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Tanda keimanan adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci Anshar. (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain dikatakan, Tidaklah membenci Anshar seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir. (HR. Muslim). Dalam riwayat lain lagi disebutkan, Mencintai Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan. (HR. Ahmad)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya ada salah seorang dari kalian yang berinfak emas seberat gunung Uhud, maka tidak akan mengimbangi infak salah seorang di antara mereka, walaupun itu cuma satu mud/dua genggaman tangan, atau bahkan setengahnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun hadits yang populer, Para sahabatku seperti bintang-bintang. Dengan siapa pun di antara mereka kamu meneladani maka kalian akan mendapatkan petunjuk. Ini merupakan hadits yang lemah. al-Bazzar berkata, Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan tidak pula terdapat dalam kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan. (lihat Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 468-469)
Imam Abu Zurah ar-Razi mengatakan, Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Quran yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Quran dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik. (lihatQathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 161)
[6] Mengikuti Salafus Shalih, Menjauhi Bidah
Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat (Muhajirin dan Anshar), tabiin (murid para sahabat) dan tabiut tabiin (murid para tabiin). Allah taala berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. (QS. at-Taubah: 100).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sebaik-baik manusia adalah di jamanku. Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka. Kemudian berikutnya yang mengikutinya sesudahnya. (HR. Bukhari).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu wajib atas kalian untuk mengikuti Sunnah/ajaranku dan Sunnah/ajaran Khulafa ar-Rasyidin yang berpetunjuk. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap bidah itu sesat. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih).
Aqidah Ahlussunnah wal jamaah
. Definisi Aqidah
Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.
Sedangkan menurut istilah (terminologi): aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Taala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qathi (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma Salafush Shalih.
B. Objek Kajian Ilmu Aqidah
Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jamaah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qathi (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa wal bida (pengikut hawa nafsu dan ahli bidah), semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.
Disiplin ilmu aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.
Penamaan Aqidah Menurut Ahlus Sunnah:
Di antara nama-nama aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:
1. Al-Iman
Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, karena aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka.
2. Aqidah (Itiqaad dan Aqaa-id)
Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu aqidah dengan istilah Aqidah Salaf: Aqidah Ahlul Atsar dan al-Itiqaad di dalam kitab-kitab mereka.
3. Tauhid
Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.[7]
4. As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum di dalam masalah aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.[8]
5. Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qathi serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama.[9]
6. Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[10]
7. Asy-Syariah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah aqidah).[11]
Itulah beberapa nama lain dari ilmu Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menamakan aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaairah (Asyariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.
Penamaan Aqidah Menurut Firqah (Sekte) Lain:
Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:
1. Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mu-takallimin (pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mutazilah, Asyaairah[12] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupa-kan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu.
Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan dengan metodologi ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah aqidah.
2. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.
3. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam aqidah, karena merupakan pe-namaan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam aqidah.
Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.
Dr. Shabir Thaimah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mutaqadan wa Maslakan: Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.[13]
Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya at-Tashawwuful-Mansya wal Mashaadir: Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Taala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke-zuhudan Budha, konsep asy-Syuubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.
Syaikh Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitabnya, Mashraut Tashawwuf: Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaithan telah membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.
4. Ilaahiyyat (Teologi)
Illahiyat adalah kajian aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa Taala menurut persepsi mereka.

5. Kekuatan di Balik Alam Metafisik
Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) aqli maupun naqli. Sesungguhnya aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma Salafush Shalih.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
Sumber :
Almanhaj.or.id
Artikel Muslim.or.Id

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)