menuntut ilmu
Siapa sih sebenarnya Salaf itu?
Dan apa yang di maksud dengan manhaj
ahlulssunnah wal jama’ah?
(Bagian I)
Salaf secara bahasa artinya orang
yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan.
Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti
orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada
di atasmu dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang
mengikuti para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30). Makna
semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang
artinya, “Maka tatkala mereka membuat
Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di
laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi
orang-orang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya
adalah: Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang
melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka
mau mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).
Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan
istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini
bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti
terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah
aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca
juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7). Oleh
sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu
adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang
baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan
sahabat, dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna
bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya
dan tidak muncul komentar, “Lho kalau begitu JIL juga
salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…
Kemudian apabila muncul pertanyaan “Kenapa
harus disebutkan pengertian secara bahasa apabila ternyata pengertian
istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?”. Maka kami akan
menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau
mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita mengetahui keterkaitan makna antara
objek penamaan syari’at dan objek penamaan lughawi (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita
bahwasanya istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber
pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. Oleh
sebab itulah anda jumpai para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli agama) rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun
menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian
sedangkan secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan
supaya tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawi dengan makna ishthilahi.” (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).
Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama
Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata
salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan
berikut:
Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam
Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi
bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).
Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf berarti
sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun para ulama
sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama
mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).
Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf
adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam
pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap
orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa
disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).
Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal
(Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih
mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun
merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh
kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan
memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi
menggapai keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31). Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat),
kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian
orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini.
Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga
disebut sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut
dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf
hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah
muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang
benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan
As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan
ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun
jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang yang
semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka
maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau
bahkan saudara Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).
Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”
Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab
Shahihnya. Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata:
Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat
dan orang sesudah mereka.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (oleh
Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena Rasyid bin Sa’ad adalah seorang tabi’in (murid sahabat),
sehingga orang yang disebut salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada
keraguan padanya.” Demikian pula perkataan Imam Bukhari, “Az Zuhri mengatakan
mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya: Aku menemui sebagian para
ulama salaf yang bersisir dengannya (tulang) dan menggunakannya sebagai tempat
minyak rambut. Mereka memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan,
“Yang dimaksud (dengan salaf di sini) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum, karena Az Zuhri
adalah seorang tabi’in.” (lihatLimadza, hal. 31-32).
Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab
Shahihnya. Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan
Muhammad bin ‘Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq
mengatakan: Aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di hadapan orang
banyak, “Tinggalkanlah hadits (yang
dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Limadza, hal. 32).
Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di dalam
kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam
Al Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul Asy
Syari’ah bahwa Imam Auza’i pernah berpesan,
“Bersabarlah engkau di atas Sunnah. Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf)
bersikap. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu
sebagaimana sikap mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu
yang shalih. Karena sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka
cukup.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.” (lihat Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang tabi’in.
Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah
Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran diri kepada kaum salaf. Sehingga bukanlah
makna salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian orang sebagai aliran
pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang kuno. Yang dengan persangkaan
itu mereka anggap bahwa salafiyah bukan sebuah manhaj (metode beragama) akan
tetapi sebagai sebuah sistem belajar mengajar yang belum mengalami modernisasi.
Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika mendengarnya adalah sosok para
santri yang berpeci hitam dan memakai sarung kesana kemari dengan menenteng
kitab-kitab kuning. Sebagaimana itulah kenyataan yang ada pada sebagian
kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah, namun realitanya
mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun
salafiyah adalah penisbatan diri kepada kaum salaf. Ini merupakan penisbatan
terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus dan bukanlah menciptakan
sebuah madzhab yang baru ada.” (lihat Limadza, hal. 33).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan
diri sebagai pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa
mulia dengannya. Bahkan wajib menerima pengakuannya itu dengan dasar
kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah
kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa, 4/149, lihat Limadza, hal. 33). Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang
ini yang menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran
baru yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang ‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan berbagai
aksi penghancuran dan pengkafiran yang membabi buta. Sehingga apabila mereka
mendengar istilah salafiyah maka yang tergambar di benak mereka adalah kaum
Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat dengan berbagai aksi penyerangan
dan tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada lagi yang menganggap bahwa
salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori oleh Jamaluddin Al
Afghani bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris di Mesir. Padahal
ini semua menunjukkan bahwa mereka itu sebenarnya tidak paham tentang sejarah
munculnya istilah ini.
Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan
semacam ini atau yang turut menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti
sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-usul dan perjalanan waktu yang
hakikatnya tersambung dengan para salafush shalih. Oleh karena itu sudah
menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap orang
yang mengikuti pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhumdalam hal akidah dan manhaj sebagai seorang salafi (pengikut
Salaf). Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz
Dzahabi di dalam kitabnya Siyar A’laamin Nubalaa’ (16/457) ketika membawakan ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni,
“Tidak ada yang lebih kubenci selain menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz
Dzahabi pun mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad Daruquthni)
belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak menceburkan
dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak ikut
meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah seorang
salafi.” (Limadza, hal. 34-35).
Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut
sebagai ‘salafi’ oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385 H.
Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-1206 H. Nah, pembaca bisa menyaksikan
sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah
Ibnu Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum Ad
Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut sebagai pengikut mereka berdua.
Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan menafsirkan bahwa Imam Ad
Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab?? Jawablah wahai kaum yang berakal… Anak kelas 5 SD pun (bukan
bermaksud meremehkan, red) tahu kalau yang namanya pengikut itu adanya sesudah
keberadaan yang diikuti, bukan sebaliknya. Wallaahul
musta’aan.
Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah
istilah bid’ah karena ia tidak digunakan pada masa sahabat radhiyallahu’anhum. Maka jawabannya
ialah: Kata salafiyah memang belum digunakan oleh Rasul dan para sahabat karena
pada saat itu hal ini belum dibutuhkan. Pada saat itu kaum muslimin generasi
awal masih hidup di dalam pemahaman Islam yang shahih sehingga tidak dibutuhkan
penamaan khusus seperti ini. Mereka bisa memahami Islam dengan murni tanpa
perlu khawatir akan adanya penyimpangan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di antara mereka. Hal ini sebagaimana mereka mampu
berbicara dengan bahasa Arab yang fasih tanpa perlu mempelajari ilmu Nahwu,
Sharaf dan Balaghah. Apakah ada di antara para ulama yang membid’ahkan ilmu-ilmu
tersebut karena semata-mata tidak ada di zaman Nabi ?! Oleh karena itulah
tatkala muncul berbagai kekeliruan dan penyimpangan dalam penggunaan bahasa
Arab maka muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab tersebut demi meluruskan kembali
pemahaman dan menjaga keutuhan bahasa Arab. Maka demikian pula dengan istilah
salafiyah.
Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan pemahaman
bertebaran di udara kaum muslimin maka sangat dibutuhkan adanya rambu-rambu
yang jelas demi mengembalikan pemahaman Islam kepada pemahaman yang masih murni
dan lurus. Apalagi mayoritas kelompok yang menyerukan pemahaman yang menyimpang
itu juga mengaku sebagai pengikut Al Qur’an dan As Sunnah. Berdasarkan realita
inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan pemahaman yang masih murni
ini dengan pemahaman-pemahaman lainnya dengan nama pemahaman ahli hadits dan
salaf atau salafiyah (lihat Limadza, hal. 36).
Kalaupun masih ada orang yang tetap ngotot mengingkari istilah
ini maka kami akan katakan kepadanya: Kalau dia konsekuen dengan pengingkaran
ini maka dia pun harus menolak penamaan lainnya yang tidak ada di zaman Nabi
seperti istilah Hanbali (pengikut fikih Ahmad bin Hanbal), Hanafi (pengikut
fikih Abu Hanifah), Nahdhiyyiin (pengikut Nahdhatul Ulama), dll. Kalau dia mengatakan,
“Oo, kalau ini berbeda…!” Maka kami katakan: Baiklah, anggap istilah salafiyah berbeda
dengan istilah-istilah itu, namun kami tetap mengatakan bahwa penamaan
salafiyah lebih layak untuk dipakai daripada istilah Hanbali, Hanafi atau
Nahdhiyyiin. Alasannya adalah karena salafiyah adalah penisbatan kepada
generasi Shahabat yang sudah dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya dan terjaga secara
umum dari bersepakat dalam kesalahan. Adapun Hanbali, Hanafi dan Nahdhiyyiin
adalah penisbatan kepada individu dan kelompok yang tidak terdapat dalil tegas
tentang keutamaannya serta tidak terjamin dari kesalahan mereka secara
kelompok. Maka bagaimana mungkin kita bisa menerima penisbatan kepada pribadi
dan kelompok yang tidak ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dan justru menolak
penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang ma’shum…?? Laa haula wa laa quwwata illa billaah… (lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah
As Salafiyah 5 hal. 66-67 karya Doktor Muhammad
Musa Nashr hafizhahullah, silakan baca juga fatwa para ulama tentang wajibnya berpegang
teguh dengan manhaj Salaf di dalam Rubrik Fatwa, Majalah Al Furqan Edisi 8
Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427 H/April 2006 M hal. 51-53. Bacalah…!).
Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya: Kenapa harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia
sebuah dakwah yang menyeru kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu.
Ataukah ia merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di
dalam Islam? Maka beliaurahimahullah menjawab, “Sesungguhnya kata Salaf
sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita pahami pada
kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan syari’at. Dalam hal ini
terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tatkala beliau berkata kepada
Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan
sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku.” Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan
ungkapan mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan.
Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan
yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka
mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf… dan semua
keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”
Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata
di sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari
penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam
agama, sehingga ia mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang
muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh
mengatakan: Saya adalah pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak diragukan lagi
bahwasanya penolakan seperti ini -meskipun dia tidak bermaksud demikian-
memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang shahih yang
diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam shahihain dan selainnya dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik
manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan
kemudian sesudah mereka.” Oleh sebab itu maka
tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan
dirinya kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan (salafiyah)
ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok)
yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara para ulama yang akan
menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah
Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-66 karya
Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah).
Cinta Salaf Berarti Cinta Islam
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat
adalah generasi pilihan yang harus kita cintai. Sebagaimana kita mencintai Nabi
maka kita pun harus mencintai orang-orang pertama yang telah mengorbankan jiwa,
harta dan pikiran mereka untuk membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan
Anshar. Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang
membangun agamanya di atas kebencian kepada para sahabat Nabi. Imam Abu Ja’far
Ath Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat
Islam di sepanjang zaman, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di
antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara
mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang
yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka
kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan.
Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.”
(Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488).
Pernyataan beliau ini adalah kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil
syari’at, bukan sekedar omong kosong dan bualan belaka sebagaimana akidahnya
kaum Liberal. Marilah kita buktikan…
Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai
kaum Anshar adalah tanda keimanan seseorang. Imam Bukhari rahimahullah membuat
sebuah bab di dalam kitabul Iman di kitab Shahihnya dengan judul ‘Bab tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar’. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda
keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci
kaum Anshar.” (Bukhari no. 17). Imam Muslim juga
mengeluarkan hadits ini di dalam Kitabul Iman dengan lafazh,“Tanda orang munafik adalah membenci
Anshar. Dan tanda orang beriman adalah mencintai Anshar.” (Muslim no. 74) di dalam bab Fadha’il Anshar(Keutamaan kaum
Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum Anshar, tidak ada
orang yang mencintai mereka kecuali orang beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari Abu
Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang beriman kepada Allah dan
hari akhir lantas membenci kaum Anshar.”(Muslim no. 77).
Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah mencintai mereka
kecuali orang beriman dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik.
Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah mencintainya. Dan barangsiapa yang
membenci mereka maka Allah juga membencinya.”(Muslim no. 75).
Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya,
bahwa Nabi bersabda, “Mencintai kaum Anshar
adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (lihat Fathul Bari, 1/80, Syarah Muslim, 2/138-139).
Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits di atas mengatakan, “…Makna
hadits-hadits ini adalah barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum Anshar,
keunggulan mereka dalam hal pembelaan terhadap agama Islam, upaya mereka dalam
menampakkannya, dan melindungi umat Islam (dari serangan musuhnya), dan juga
kesungguhan mereka dalam menunaikan tugas penting dalam agama Islam yang
dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kecintaan Nabi kepada mereka, kesungguhan mereka dalam
mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau, peperangan dan permusuhan mereka
terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red) demi menjunjung
tinggi Islam….maka ini semua menjadi salah satu tanda kebenaran iman dan
ketulusannya dalam memeluk Islam…” (Syarah Muslim, 2/139).
Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi
menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para sahabat adalah bagian keimanan
yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para
sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu was salam, “Sebaik-baik kurun (masa)
adalah masaku. Kemudian orang-orang yang mengikuti sesudah mereka. Dan kemudian
generasi berikutnya yang sesudah mereka.” Maka mereka itu adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka
dalam bersahabat dengan Nabi ‘alaihish shalatu was salam. Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan membenci mereka
adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “…Supaya Allah membuat orang-orang kafir benci dengan
adanya mereka (para sahabat).” (QS. Al Fath: 29).
Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai keseluruhan para sahabat
dengan dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah ‘azza wa jalla sudah mencintai
mereka dan juga kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dan
juga karena mereka telah berjihad di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke
berbagai belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul dan beriman kepada
beliau. Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya.
Inilah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Syarah ‘Aqidah
Thahawiyah, hal. 489-490).
Catatan:
Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih
Al Fauzan di atas yaitu hadits yang bunyinya, “Sebaik-baik
kurun (masa) adalah masaku dst” dengan lafazh khairul quruun…. Syaikh Salim Al
Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam banyak kitab dengan lafazh khairul quruun(sebaik-baik masa).
Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak terpelihara keotentikannya.
Adapun yang benar adalah yang sudah kami sebutkan (yaitu Khairunnaas; sebaik-baik
manusia, red).” (lihat Limadza Ikhtartul Manhaj
Salafi, hal. 87).
Benci Salaf Berarti Benci Islam
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah
dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil,
yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan
tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya;
tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29). Di dalam ayat ini disebutkan bahwa salah satu
ciri para sahabat yaitu membuat jengkel dan marah orang-orang kafir.
Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat
yang mulia ini, “Dan berdasarkan ayat inilah Imam Malik rahimahullah menarik sebuah
kesimpulan hukum sebagaimana tertera dalam salah satu riwayat darinya untuk
mengkafirkan kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam
Malik) mengatakan, “Hal itu karena mereka (para sahabat) membuat benci dan
jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok ulamaradhiyallahu’anhum pun ikut menyetujui sikap beliau ini…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/280).
Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir ini
teranglah bagi kita bahwasanya konflik yang terjadi antara kaum Syi’ah (yang
dulu maupun para pengikut Khomeini yang ada sekarang ini) dengan Ahlus
Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik atau perebutan kekuasaan yang diselimuti
dengan jubah agama sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur -semoga Allah
memberinya petunjuk-, Kyai ini mengatakan di dalam sebuah wawancaranya dengan
JIL (yang sama-sama suka menebarkan syubhat kepada umat Islam), “Konflik itu (maksudnya antara Syi’ah dan Sunni, red)
muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah
mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiyaan terhadap menantu
Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut
Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di
dalam bahasa Arab disebut syî’ah. Selanjutnya kata syî’ah ini menjadi sebutan
dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah
teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal
dengan sebutan Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan
kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa.” (wawancara JIL dengan Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi dan
Pornoaksi) Ini adalah kedustaan… !!! (silakan baca tulisan Ustadz Abdul Hakim
Abdat dalam Al Masaa’il jilid 3 Masalah 66, hal 42-72 yang membongkar kedok kaum Syi’ah
dengan menyertakan fatwa-fatwa para ulama tentang Rafidhah/Syi’ah. Baca juga
Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 dengan tema Agama Syi’ah Semoga
Allah memberikan ganjaran yang besar kepada ustadz-ustadz kita karena jasa
mereka ini. Bacalah!!).
Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki
keutamaan lebih, begitu pula lebih dahulu (berjasa bagi umat Islam) dan lebih
sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara umat ini yang mampu menyamai
kehebatan mereka, semoga Allah meridhai mereka dan aku pun ridha kepada mereka.
Allah telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka, dan
Allah telah menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya:
Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada
kami dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau
mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat
yang jiwaku berada di tangannya, seandainya ada salah seorang di antara kalian
yang berinfak emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai (pahala)
satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah, diriwayatkan juga Al
Bukhari dalam kitab Al Manaaqib no. 3673).” (lihat Tafsir
Ibnu Katsir 7/280).
Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya
Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang
artinya, “Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya.
Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah:
100). Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum
Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka
kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih.
Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut
sebagai salafi. Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat
yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza
wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah
‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang
mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di
barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat,
apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan
Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan
bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu (masuk
Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan
mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta kelezatan yang
abadi bagi mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140). Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum
Muhajirin dan Anshar (Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah). Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan,
“Orang-orang yang mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah
mereka (para sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik”
merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri mereka. Artinya mereka
adalah orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang
teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk
peniruan mereka terhadap As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di dalam
tafsirnya (Lihat Fathul Qadir dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya
bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik” di dalam ayat ini adalah: Orang-orang
yang meniti jalan mereka dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta
berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam dalam rangka mencari keridhaan
Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).
Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari Al Qur’an
yang menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan
membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat dan menentang Allah jalla wa
‘ala, dimana dia telah berani membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah.
Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada orang yang sudah diridhai Allah
merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan
melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah
Syamilah). Masih dalam konteks penafsiran
ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberikan sebuah komentar pedas yang akan membakar telinga
ahlul bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang
yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang yang
membenci atau mencela sebagian mereka…” Setelah memberitakan sikap orang-orang
Rafidhah yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah Nabi
(diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini
(yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah) menunjukkan
bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu
dimanakah letak keimanan mereka terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya
mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140) Maka hanguslah
telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan mencaci maki para
shahabat; generasi terbaik yang pernah hidup di permukaan bumi ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada mereka dan saya pun ridha kepada mereka).
Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan
Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat
yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. Maka kamipun mengatakan
kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat dari orang
yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya anda memberikan wasiat kepada kami”.
Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa bertakwa
kepada Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang
memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang
hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpeganglah
dengan Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah
sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah perkara-perkara yang
diada-adakan (di dalam agama). Karena semua bid’ah (perkara yang diada-adakan
dalam agama) adalah sesat.”
Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud
dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini
dikeluarkan oleh Ahmad (4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim
(1/174), Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ hadits no. 2549
(lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An
Nawawiyah, cet. Markaz Fajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana
Khairan, hal. 164).
Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan sebuah solusi bagi umat tatkala menyaksikan
sekian banyak perselisihan yang ada sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh
dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman
dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201). Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa
mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan ijma’ (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202). Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan,
“Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita tatkala melihat perselisihan ini (yaitu
banyaknya perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya
berpegang teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi sunnatii ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”.
Beliau rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam adalah: jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak,
amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah
(ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang difirmankan
Allah ta’ala yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka
pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65). Dengan demikian
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah satu-satunya jalan keselamatan
bagi orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari berbagai perselisihan dan
berbagai macam kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).
Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “…Kemudian beliaushallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan
supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan beliau, dan juga
supaya berpegang teguh dengan jalan Khulafa’ur
Rasyidin Al Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para
khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah
pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu
Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203). Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan
Imam Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu umum berlaku
bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua orang Syaikh
(Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah
syari’at bahwa seorang khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan
suatu jalan selain jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/50-51, dinukil dari Limadza, hal. 74-75).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa, 1/282), “Adapun yang dimaksud
dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran
kecuali berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk
bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dari Limadza, hal. 73). Di dalam Tuhfatul
Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al Mubarakfuri juga
mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud dengan Sunnah Khulafa’ur
Rasyidin kecuali jalan hidup mereka yang
sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam…” (dinukil dariLimadza, hal. 73).
Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana
dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan demikian
kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat radhiyallahu
‘anhum terhadap agama, karena mereka
senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan penerapan Islam yang
diajarkan oleh Nabi mereka…” (Limadza, hal. 75) Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar
bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan
mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam firqah dan aliran-aliran
adalah memegang teguh Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan mengikuti pemahaman para
Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau dengan kalimat yang ringkas kita katakan
‘Dengan mengikuti manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka dia telah
menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang agung ini.
Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah
As Sunnah secara bahasa
artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan, perkataan maupun
perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi lawan dari
bid’ah. Bukan sunnah dalam terminologi fikih. Karena sunnah
menurut istilah fikih adalah segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan
berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang
dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para
sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah!! (silakan bacaLau Kaana Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17 baca juga Panduan Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40).
Al Jama’ah secara bahasa
artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara. Sedangkan menurut
istilah syar’i, al jama’ah berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran yaitu jama’ah
para sahabat beserta orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang meniti
jejak mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir maupun
batin. Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al
Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati
Salafish Shalih, hal. 29 dan 30). Ukuran seseorang
berada di atas jama’ah bukanlah jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh
mana dia berpegang teguh dengan kebenaran yaitu Islam yang murni yang dipahami
oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Sebagaimana hal ini telah diisyaratkan oleh Rasul ketika
menceritakan akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di
neraka kecuali satu yaitu al jama’ah. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa mereka itu adalah
orang-orang yang beragama sebagaimana Nabi dan para sahabat. Hadits perpecahan
umat adalah hadits yang sah menurut ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam Majmu’
Fatawa (3/345), “Hadits tentang perpecahan
umat adalah hadits yang shahih dan sangat populer di dalam kitab-kitab sunan
dan musnad.” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah fi
Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 348, Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204 karya Al Imam Al Albani rahimahullah, baca keterangan
tentang status dan faidah-faidah dari hadits perpecahan umat di dalam buku Lau Kaana Khairan, hal. 190-196).
Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang mengikuti
mereka dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap dan mengerjakan
amalan, demikian pula orang-orang yang konsisten di atas jalur ittiba’ (mengikuti Sunnah)
dan menjauhi jalur ibtida’ (mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan
mendapatkan pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab
itu maka mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah
kesesatan. Mereka itulah yang disebut dengan istilah ‘salaf’ (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 30, Panduan Aqidah Lengkap hal. 40, baca juga definisi Ahlus Sunnah di dalam Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 17-18, karya Syaikh Doktor Muhammad bin Husain Al Jizani hafizhahullah).
Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu
orang-orang yang tetap mengerjakan bid’ah sesudah ditegakkan hujjah atas
mereka, baik bid’ah i’tiqadiyyah (keyakinan) maupun bid’ah amaliyah (amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah dengan
bid’ahnya (lihat Lau Kaana Khairan, hal. 170). Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi
seseorang atau jama’ah sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata,
“Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah tidaklah secara otomatis menjadikannya
sebagai seorang ahli bid’ah….” “…Ada dua persyaratan agar seseorang dikatakan
sebagai ahli bid’ah:
1. Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.
2. Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa Nur, kaset no. 785)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini)
berkata, “Tidak semua orang yang melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli
bid’ah. Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi orang yang telah jelas dan dikenal
dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan sampai-sampai
mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang banyak bagi
masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang yang menyelisihinya sebagai
ahli bid’ah.” (dinukil dari Ringkasan buku Lerai
Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya Ustadz Abu
Abdil Muhsin hafizhahullah).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah? Beliau menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama’ah
hanyalah orang-orang yang benar-benar berpegang teguh dengan As Sunnah (ajaran
Nabi) dan mereka bersatu di atasnya. Mereka tidak menyimpang kepada selain
ajaran As Sunnah, baik dalam urusan keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal
praktik hukum. Oleh sebab inilah mereka disebut dengan Ahlus Sunnah, yaitu
karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas Sunnah). Dan apabila anda
cermati keadaan ahlul bid’ah niscaya anda dapatkan mereka itu berselisih dalam
hal metode akidah dan amaliah, ini menunjukkan bahwa mereka itu sangat jauh
dari petunjuk As Sunnah, tergantung dengan kadar kebid’ahan yang mereka
ciptakan.” (Fatawa Arkanul Islam, hal. 21).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para
ulama yaitu: Ash-habul Hadits atau Ahlul Hadits (pengikut dan pembela hadits), Ahlul Atsar (pengikut jejak
salaf), Ahlul Ittiba’ (Peniti Sunnah Nabi), Al
Ghurabaa’ (Orang-orang yang terasing dari
berbagai keburukan), Ath Thaa’ifah Al Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan Al Firqah An Najiyah (Golongan yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika
banyak kelompok dalam tubuh umat Islam yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal
Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata praktik dan
ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka bangkitlah
para ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu Salafiyun (para
pengikut Salaf) (lihat Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal. 6, Limadza hal. 36-38, Minhaaj Al Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, hal. 7-14). Apabila para pembaca ingin mengetahui lebih dalam tentang
sejarah munculnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka kami sarankan untuk
membaca Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas yang diterbitkan Pustaka At Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau sudah
menerangkan hal ini, semoga Allah memberikan balasan sebaik-baiknya kepada
beliau. Dan bagi para pembaca yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan
bahwa Al Firqatun Najiyah adalah Ath Tha’ifah Al Manshurah juga sama dengan Ahlul Hadits maka silakan baca buku Mereka Adalah
Teroris cet. I hal. 77-95. Semoga Allah
merahmati para ustadz kita dan menyatukan mereka dalam barisan dakwah Salafiyah
dalam membumihanguskan gerombolan dakwah Ahlul bid’ah, …Aammiin.
Hanya Satu yang Selamat!
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah memberitakan tentang
terjadinya perpecahan umatnya sesudah beliau wafat. Kami sangat mengharapkan
keterangan dari yang mulia tentang hal itu? Beliau menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan dalam hadits-hadits yang sah (riwayat Abu
Dawud di Kitab As Sunnah bab Syarhu Sunnah (4596), At Tirmidzi di Kitabul
Iman bab Iftiraqu
Hadzihihil Ummah (2642), Ibnu Majah di Kitabul Fitan bab Iftiraqul Ummah (3991)).
Hadits-hadits itu menceritakan bahwa kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71
kelompok/firqah. Sedangkan kaum Nashara berpecah menjadi 72 firqah. Dan umat ini akan
berpecah menjadi 73 firqah. Seluruh firqah ini terancam berada di neraka kecuali satu firqah. Firqah tersebut terdiri
dari orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran dan pemahaman agama
sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam beserta para sahabatnya. Kelompok
inilah yang disebut dengan Al Firqah An Najiyah(kelompok yang selamat). Mereka selamat dari kebid’ahan ketika
berada di dunia. Dan mereka terselamatkan dari api neraka ketika di akhirat
kelak. Inilah Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang diberi pertolongan dan dimenangkan) yang akan
tetap eksis hingga datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa menang dan
mendapatkan ketegaran dalam menegakkan agama Allah ‘azza wa jalla.”
“Tujuh puluh tiga firqah ini, salah satunya berada di atas kebenaran sedangkan selainnya
berada di atas kebatilan. Sebagian ulama berusaha untuk merincinya satu persatu
dan menyimpulkannya menjadi lima aliran utama ahlul
bida’ (kaum pembela bid’ah). Dari setiap
aliran itu mereka bagi lagi menjadi beberapa sekte sampai bisa mencapai total
bilangan tersebut yang telah disebutkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang lainnya
memandang bahwa dalam hal ini sikap yang lebih baik ialah menahan diri untuk
tidak merincinya. Mereka beralasan karena bukan hanyafirqah-firqah yang sudah ada ini
saja yang tersesat. Tetapi telah banyak kelompok orang yang tersesat dalam jumlah
kelompok yang lebih besar di masa sebelumnya. Begitu pula banyak firqah baru
yang muncul setelah tujuh puluh dua firqah yang ada sekarang. Mereka
berpendapat bahwa bilangan ini tidak akan pernah terhenti dan tidak mungkin
bisa diketahui sampai kapan berakhirnya kecuali nanti di akhir zaman ketika
hari kiamat datang. Oleh sebab itu sikap yang lebih baik ialah kita sebutkan
secara global saja bilangan yang sudah disebutkan secara global oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kita katakan bahwasanya umat ini akan berpecah belah
menjadi 73 firqah, semuanya berada di neraka kecuali satu. Kemudian kita
katakan bahwa setiap orang yang menyimpang dari petunjuk dan pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah termasuk dalamfirqah-firqah ini. Dan bisa juga
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gambaran tentang pokok-pokok aliran sesat yang belum
bisa kita ketahui keberadaannya sekarang ini kecuali hanya sebatas sepuluh
aliran saja yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammengisyaratkan beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya
terkandung cabang-cabang sebagaimana pendapat demikian dipilih oleh sebagian
ulama. Adapun ilmu yang sebenarnya ada di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (Fatawa Arkaanul Islaam, hal. 21-22).
Firqah-Firqah yang Menyimpang
Setelah kita mengetahui bersama bahwasanya satu-satunya jalan
yang diridhai Allah dalam beragama adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah;
yaitu tegak di atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Maka tidak kalah
pentingnya sekarang adalah mengetahui berbagai kelompok Islam atau firqah yang menyimpang
dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di sini kami ingin mengingatkan
kembali perkataan Imam Ibnul Qayyim yang sangat penting untuk kita cermati.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah
termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan
tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah
nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah
pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan
dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang
yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan
keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya
rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang
yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik.
Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min
Washaaya Salaf, hal. 44) Dari perkataan beliau ini
kita bisa menarik kesimpulan berharga bahwasanya sumber penyimpangan manusia
dari jalan yang lurus adalah buruknya pemahaman dan buruknya niat. Inilah dua
pokok kesesatan yang ada, baik di dalam Islam maupun di luar Islam.
Sebagian besar kelompok menyimpang yang ada sekarang ini pada
hakikatnya mewarisi penyimpangan-penyimpangan yang ada pada para pendahulunya,
sedikit maupun banyak. Ada di antara mereka yang murni mengikuti sebuah aliran
masa silam tapi ada juga yang menggabung-gabungkan penyimpangan dari berbagai
aliran masa silam ke dalam tubuh kelompok mereka. Dan kebanyakan dari mereka
sudah tidak lagi memakai nama lama. Akan tetapi mereka kelabui umat dengan
nama-nama yang indah dan mempesona. Ada lagi orang-orang yang merasa tidak puas
dengan referensi-referensi Islam dan mencoba menggali ‘tambahan pelajaran’ dari
produk pemikiran orang-orang Kafir. Di antara mereka ada yang masih berada
dalam lingkaran Islam. Tetapi ada juga yang sudah mental keluar karena bosan
dengan manhaj para ulama Salaf dan lebih senang dengan ajaran Orientalis. Maka
jadilah orang-orang seperti ini sebagai orang-orang yang merasa memperjuangkan
keagungan nilai ajaran agama Islam. Berdasarkan persangkaan ini maka mereka pun
mengumpulkan manusia dan menyebarkan ide-ide mereka dalam bentuk ceramah maupun
tulisan. Mereka bangun sekolah demi mengkader para penerus kesesatan mereka.
Mereka racuni pikiran para generasi muda dan kaum cerdik cendekia. Bahkan tidak
jarang ada di antara mereka yang nekat turun ke jalan dan mengerahkan massa. Atau
lebih sangar lagi ada yang berani mengangkat senjata dan menumpahkan darah
manusia tanpa hak. Subhaanallaah…!!
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan
selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya: Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah,
Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga
kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat
dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90. Namun di sana tidak disebutkan nama Khawarij, dugaan
saya ini adalah salah cetak, sebagaimana tampak dari syarahnya yang juga
menjelaskan firqah Khawarij. Silakan bandingkan dengan Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Al ‘Utsaimin, hal. 161). Setelah membawakan perkataan
Imam Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan
mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah
itu memiliki beberapa ciri, di antara cirinya adalah:
1. Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah
sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut
urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
2. Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka.
Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu
sudah tampak jelas bagi mereka.
3. Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama)
(Syarah Lum’atul I’tiqad, hal. 161).
Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran
firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau
dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah:
1. Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang
yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga
mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para
Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat
telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka ini pun terdiri dari banyak
sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan
‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah
kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di zaman ini adalah Khomeini
beserta begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun
V/Muharram 1427 hal. 49-53).
2. Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka
adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka
dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka
dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap
bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam
mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab
mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup
dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi
dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang
sempurna imannya. Wallaahul musta’aan.
3. Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang
memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di
antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa
muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi
bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca Majalah Al Furqon
Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36).
4. Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang
berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba
memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari
kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah
Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara
mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini
menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan
dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
5. Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian
dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja.
Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya
sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan
apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.
6. Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil
bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri.
Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi
sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain),
tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka
akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya
adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat
adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir
mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar
mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip
terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena
Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan
keimanan. Inilah anehnya bid’ah, dua prinsip aliran sesat yang bertentangan
bisa bertemu dalam satu tubuh. Tahsabuhum jamii’an wa
quluubuhum syattaa. Kalian lihat mereka itu bersatu
padu akan tetapi sebenarnya hati mereka tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr:
14).
7. Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin
Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan
makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak
sekte.
8. Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah
bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen
tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum
Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa ini pun
mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam
Abul Hasan Al Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia
sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar
kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj
Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau
mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu: hidup, mengetahui,
berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya
beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah,
semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh
Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163).
Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada
beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya
saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan berbagai
macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis)
dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar ber-tahazzub (bergolong-golongan)
pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka
telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan
kepada penguasa, red),Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi,
Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen,
kelompok Al Jaz’arah, begitu juga (gerakan) Al Ikhwan
Al Muslimun baik di tingkat internasional maupun
di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap
Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy
Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang
tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah
Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan
kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat Al Is’aad fii Syarhi Lum’atul I’tiqaad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang
hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca buku Jama’ah-Jama’ah Islam karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhahullah).
Haram Berpecah Belah Menjadi Berbagai Jama’ah dan Partai
Berikut ini sebagian fatwa para ulama yang mengecam keras
tindakan mendirikan berbagai jama’ah dan mengkotak-kotakkan umat Islam dalam
sekat-sekat partai dan kelompok keagamaan. Komite Tetap urusan fatwa Kerajaan
Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah
ditanya, “Apakah hukum berbilangnya
jama’ah dan hizb/partai di dalam Islam, dan apakah hukum berloyalitas kepadanya
?” Komite tersebut menjawab: “Tidak
diperbolehkan kaum muslimin terpecah belah dalam agama mereka menjadi berbagai
kelompok dan golongan… Karena sesungguhnya perpecahan ini tergolong perkara
yang dilarang Allah kepada kita. Allah mencela orang yang menciptakan dan juga
orang yang mengikuti orang yang mencetuskannya. Dan Allah telah mengancam
pelakunya dengan siksaan yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Berpegang teguhlah kalian
dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah..” (QS. Ali ‘Imran : 103) sampai firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah
belah dan senantiasa berselisih sesudah datang berbagai macam keterangan kepada
mereka. Dan bagi mereka itulah siksaan yang sangat besar.” (QS. Ali ‘Imran: 105). Allah ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama
mereka sehingga mereka pun menjadi bergolong-golongan tidak ada sedikitpun
tanggung jawabmu kepada mereka.” (QS. Al An’am :
159). Adapun apabila pemegang urusan kaum muslimin (Pemerintah, red) yang
melakukan upaya pengaturan terhadap mereka serta memilah-milah mereka dalam
berbagai kegiatan agama atau keduniaan (bukan untuk memecah belah, red) maka
tindakan semacam ini disyari’atkan.” (Fatwa No. 1674 tertanggal 7/10/1397 H,
lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 52-53).
Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
Al ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Tidak terdapat dalil baik di dalam Al
Kitab maupun di dalam As Sunnah yang membolehkan munculnya berbagai macam
jama’ah dan hizb/partai. Akan tetapi yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah
justru mencela hal itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu)
menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al Mu’minuun: 53). Dan tidak ragu lagi bahwasanya
keberadaan hizb-hizb ini bertentangan dengan perintah Allah, bahkan ia juga bertolak
belakang dengan anjuran yang disinggung di dalam firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu
semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiyaa’: 92)” (lihat Silsilah
Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 54).
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang dulunya pernah membolehkan orang untuk khuruj (keluar daerah
untuk berdakwah ala Tablighi dalam rentang waktu tertentu) bersama Jama’ah
Tabligh pun dalam fatwa terakhirnya mengatakan, “Jama’ah Tabligh tidak memiliki bashirah (ilmu dan
keterangan) dalam berbagai permasalahan akidah, sehingga tidak diperbolehkan
untuk khuruj bersama mereka, kecuali
bagi orang yang sudah mempunyai bekal ilmu dan bashirah (pemahaman yang dalam)
dalam hal akidah lurus yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah supaya dia
bisa mengarahkan dan menasihati mereka.” (Majalah Ad Da’wah, Riyadh No. 1438
tertanggal 13/1/1414 H dan tercantum dalam Majmu’
Fatawa beliau 8/331, dinukil dengan sedikit
perubahan dari Silsilah Abhats Manhajiyah
Salafiyah, hal. 55-56). Dalam permasalahan ini
para ulama lainnya juga memberikan fatwa yang melarang terbentuknya berbagai jama’ah dan hizb semacam ini, di
antara mereka adalah Syaikh Shalih Al Fauzan (anggota Lembaga Ulama Besar
kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani (mujaddid dan ahli hadits
abad ini), Syaikh Bakr Abu Zaid dan ulama-ulama yang lainnya dari negeri Saudi,
Yaman, Yordan, dan negeri lain, semoga Allah menjaga mereka semua.
Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita sungguh
dibuat terheran-heran oleh ulah sebagian kelompok umat Islam yang menyerukan
persatuan dan mengajak untuk mempererat jalinan ukhuwah di antara sesama muslim
namun di saat yang sama mereka justru asyik mendengung-dengungkan kehebatan
partainya sembari mengibar-ngibarkan bendera partainya, mengenakan kaos dan
beraneka atribut partai, merentangkan spanduk kebanggaannya serta memobilisasi
massa untuk mencoblos partai mereka dan tidak memilih partai Islam yang
lainnya. Inilah salah satu keajaiban Harakah
Islamiyah (Gerakan Islam) abad 21 yang berusaha ‘menegakkan benang basah’ dan rela untuk merengek-rengek kepadaDemokrasi demi mendapatkan
jatah kursi. Wallahul musta’aan. Adakah orang yang mau merenungkan?
Bersambung…
Sumber : Artikel www.muslim.or.id
Comments
Post a Comment