Kisah dibalik sebungkus mie instan
KISAH DIBALIK SEBUNGKUS MIE INSTAN
Ini bukan kampanye dari orang
kesehatan yang menghimbau kepada seluruh anak kost-kostan untuk mengurangi
hobbi makan mie instan (piss :v), bukan pula suara hati seorang jomblo yang
pernah hits taglinenya “disana ada loh yang rela makan mie instan setiap hari
demi ngehalalin kamu” (lebay juga yah), juga bukan iklan mie keriting, mie
gepeng, mie apalah-apalah itu. Ini hanya sekelumit kisah di masa kecil yang ada
kaitannya dengan mie instan.
Entah kenapa yah, saya bawaannya
BAPER banget kalau lagi makan mie instan satu mangkok terus sendiri, bukan
karena makan mie instan sambil merenungi kejombloan sih (beneran, bukan karena
itu kok :v), tapi lebih ke memori yang tiba-tiba berputar di benak ketika
moment tersebut.
Dalam keluarga kami, mie instan
adalah makanan favorit keluarga. Maklumlah, saat itu pengetahuan kami tentang
kurang sehatnya makan mie instan secara terus-menerus belum sampai. Yang
penting murah + nikmat (banyak rasa pula, wkwkwk). Meski begitu, makanan yang satu
ini tidak setiap hari kami temui. Kadang ibu harus menyisihkan sebagian uang pembeli beras yang dikumpulkan susah
payah oleh Bapak untuk mendapatkan sebungkus mie instan.
Pernah suatu hari di kos, saya mewek
abis gara-gara mengingat kejadian di masa kecil itu. Saya terbayang sosok-sosok
yang pernah menemani saya bermain, tapi lebih sering menjaili saya bahkan bikin
saya nangis, dan tentu sosok perempuan yang cantik jelita meski sudah termakan
usia (dan kini mereka semua meninggalkan saya disini, *tear ). Ceritanya, kalau
ibu beli mie instan maka sebungkus mie instan tersebut kami makan
beramai-ramai. Entahkah itu berdua, bertiga, bahkan berempat. Dan hanya
sebungkus mie instan (tanpa nasi, sayur, daging, dll). Tidak ada saling
berebut, satu orang yang menyiram, yang lain ambil sendok. Kebiasaan juga,
sebungkus mie kami makan dua kali. Jadi mie dan bumbunya dibagi dua.
Sebagiannya di siram, dan sebagiannya di simpan kembali ke dalam bungkusannya
dan diikat dengan karet gelang untuk dimakan ke esokan harinya (aneh yah?
*senyum ). Dan satu lagi kejadian yang tidak pernah saya lupakan. Tentang
perempuan cantik yang saya sebut di atas, ibuku (Rahimahallah). Ketika itu ibu
membeli mie instan yang cukup untuk kami satu per satu. Semuanya telah
kebagian, aku dan ketiga kakak laki-lakiku. Dan saat itu juga kami makan, lalu
habis. Kecuali ibu. Mie instannya masih utuh, karena saat itu beliau masih
sibuk di dapur. Dan beberapa saat, setelah pekerjaannya selesai, ibu menyiram
mie bagiannya tadi. Lalu aku menghampirinya (yang ketika itu masih unyu’ dan
menjadi anak kesayangan ibu) dan berkata “ibu, aku masih mau..” ibu terseyum.
Dan sebungkus mie instan kami makan berdua (izinkan saya menangis kali ini).
Rabbighfirliy waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shagira.
Hikmahnya, Kebahagiaan bukan
terletak pada kemewahan. Tapi keberkahan. Meski sedikit tapi di syukuri maka
disitulah letak kenikmatannya. Dalam sebungkus mie instan kami, terkandung
sejuta cinta, dengan cita rasa syukur, dan aroma bahagia. Sebungkus mie instan
yang dibeli atas jerih payah sang Ayah dalam menafkahi keluarga dengan cara
yang halal, dan racikan tulus dan senyum ikhlas dari Sang Ibu dalam mendidik
anak-anaknya dengan penuh kesabaran dan cinta.
Adakah
moment unik kalian dengan sebungkus mie instan? Mari berbagi. *berbagi senyum
SULBAR, 31 Juli 2016
Comments
Post a Comment