Cerpen_Takdirku


Hidupku sudah berubah 180% dimulai dari detik dimana seseorang mengucapkan namaku lengkap dengan nama bapakku di depan penghulu. 
Kini dia sudah di sampingku, berbicara apa saja untuk mengakrabkan diri. Sementara aku sibuk dengan gawai di tangan membalas chat teman-teman yang masuk. 
Betapa tidak nyamannya suasana sekarang. Sepertinya aku akan kehilangan kedamaian dalam hidupku. Belum lagi, aku harus berusaha lebih keras untuk menerima orang yang sama sekali tidak kuinginkan jadi pendampingku.
Benarkah ini sudah menjadi jalan-Nya? Tapi kenapa hatiku masih saja berat untuk menerima. Beberapa jam menjadi istrinya saja sudah membuatku mengomel dalam hati. Kami butuh ini, dia tidak bisa membeli. Kami butuh itu, dia tak bisa mencukupi. Dia benar-benar lelaki miskin. Impianku untuk pensiun dari tempat kerja setelah menikah sudah jadi angan-angan kosong belaka. 
Lagi pula aku merasa tidak perlu menaruh hormat padanya. Toh dia jauh lebih mudah dibawahku. 
Apa coba yang harus kusukai darinya? Sudah tak cinta, tak punya harta, tidak tampan pula. Mirisnya hidupku. 
Biaya pernikahan kami saja ditanggung oleh teman-temannya dan sebagian besar oleh teman-temanku. 
Tadi siang, ketika orang mencie-ciekanku yang sudah tidak jomblo, ingin rasanya kulempari mereka dengan piring. Mereka tidak tahu apa, kalau hatiku lagi hancur sekarang. Dan aku berdiri disini menyambut tamu dengan jasad dan hati yang tidak ada keridho-anya sama sekali.
Bagaimana bisa ini terjadi? Qadarullah. Hanya itu sekarang jawaban pamungkasku. Aku sudah menolaknya. Dan mempersilahkan lelaki yang kuidamkan jadi suamiku datang ke rumah, tapi ujung-ujungnya, anak inilah yang bergelar suamiku. 
Aku mulai membandingkan hidupku dengan teman-temanku yang sudah menikah. Dapat suami yang mapan. Tidak perlu susah-susah mikir, besok makan apa lagi? Ketika hal itu kuutarakan pada seorang teman, dia memarahiku. Katanya, patutnya aku bersyukur. Toh aku juga yang dulu ngemis-ngemis ke tuhan mau menikah. Sekarang kan sudah dikasih. Lagi pula, tak bisa hidup orang kita jadikan tolak ukur buat hidup kita. Semua punya porsi masing-masing. 
Teman-temanku yang belum nikah harusnya juga bersyukur. Kejombloan itu bukan hal yang harusnya menjadi beban. Karena sekarang ini, aku ingin di posisi mereka. Menikmati kebebasan. Tanpa beban tanggung jawab besar diatas pundak. Leha-leha di kasur main game atau nonton YouTube, minus panggilan bayi besar yang ingin makan, dicuci kan baju, disuapi, dikeloni. Benar-benar kedamaian yang sudah hilang. 
***

Hay ders, aku kembali dengan kisah baru. Sebagaimana janjiku dulu akan menerbitkan cerita baru di  bulan februari ini. Cerita ini aku dedikasikan buat teman setiaku pergi menuntut ilmu, teman yang sangat baik dan telaten menjagaku sewaktu di rumah sakit, teman yang bersedia mengantarkanku kemana-mana, termasuk ke rumah calon mertua ketika itu, dan teman yang senantiasa menjadi pendengar yang baik dan enak diajak diskusi. Sangat berharap kamu bisa bahagia dengan apa yang Allah kasih ke kamu sekarang. Dan semoga pun demikian denganku.
Akhir kata, Semoga ada hal yang bisa kita petik dikisah tersebut. Pandanglah dari berbagai sisi. Agar tak ada yang jadi korban judge-mu. Selamat menyambut hari kerja untuk besok. Byeee!
.
.
.
📷 https://pin.it/cajalkdwnw7v7k

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)