Wanita Kedua (cerpen)



Dia melangkah gugup. Debaran jantungnya berirama cepat, seakan berpacu dengan waktu. Bulir-bulir keringat pun mulai muncul di pelipisnya. Ini hari yang berat baginya. Tapi, ia harus tetap melangkah. Diketuknya daun pintu yang ada dihadapannya, lalu membalikkan badan. Terdengar suara langkah kaki menyambut. Pintu berderit. Sosok lelaki paruh baya muncul dibalik pintu. Kumis dan janggutnya tampak putih termakan usia. Tapi garis-garis ketampanan sewaktu muda, masih tersisa di wajahnya. Lelaki itu mengerutkan kening, tanda belum mengenal siapa yang datang bertamu.
"Assalamu 'alaikum" sapa si tamu yang masih saja berdiri di ambang pintu.
"Wa'alaikum salam. Cari siapa?" Suara yang cukup berwibawa namun terdengar tegas. Membuat nyali sang tamu mulai menciut.
"Benar ini rumahnya pak Umar?" Si tamu memastikan jika rumah yang didatangi tak salah alamat.
"Saya sendiri." Jawab Lelaki sang empunya rumah.
"Saya ada perlu dengan Bapak. Boleh saya masuk?" Sang tamu memberanikan diri. Dan berusaha menampilkan senyum terbaiknya.
"Oh, tentu. Maaf tidak mempersilahkan dari tadi."
"Tidak apa-apa, pak."
Mereka berdua beriringan masuk. Pak Umar lalu kemudian tamu yang tak dikenalinya.
Setelah duduk di sofa dengan saling berhadapan, pak Umar mulai menelisik tamu yang di hadapannya. Pemuda yang lumayan tampan. Berpenampilan sederhana tapi rapi dan resik, dengan celana berbahan kain warna hitam dan Koko lengan pendek. Wajahnya bersih, ditambah jenggot tipis di dagunya, membuatnya terlihat karismatik. Menyadari sang empunya rumah memperhatikan, membuat pemuda tersebut makin gugup. Ia terus melantunkan do'a di dalam hati, agar hatinya tenang dan lisannya lancar menyampaikan maksud.
"Saya Abidzar. Dari pulau seberang. Lulusan salah satu universitas kota ini,"
Sang pemuda menghela nafas sejenak.
"Saya bermaksud kesini, bertemu dengan bapak untuk meminta putri Bapak, Ailah, untuk saya jadikan istri." Kalimat panjang yang keluar dari mulut si Pemuda membuat pak Umar hampir jantungan. Siapa pemuda ini? Berani sekali dia melamar putrinya seperti membeli kacang goreng. Datang tiba-tiba, tanpa Tedeng aling-aling.
"Kalian pacaran?"
"Tidak, pak. Bahkan mungkin Ailah tidak kenal saya."
"Lalu, kenapa kamu tiba-tiba datang ingin melamarnya? Kamu coba-coba bermain dengan saya?"
"Tidak, pak. Tentu saja tidak. Perkara nikah bukan perkara main-main. Saya serius dengan maksud yang sampaikan."
"Berapa lama kamu mengenal anak saya?"
Baru 3 bulan yang lalu, ketika kami tidak sengaja bertemu di pusat perbelanjaan. Saya ketika itu menemani Ibu berbelanja. Saya perpisah dengan beliau, karena mencari barang yang dibutuhkan. Tak berselang lama, tiba-tiba handphone saya berdering. Ibu saya menelpon. Saya memang menyuruhnya untuk menghubungi, kalau keperluannya sudah selesai. Tapi, saya kaget ketika mengangkat telponnya. Bukan ibu saya yang berbicara. Tapi suara perempuan lain. Dan dia mengabarkan kalau Ibu saya pingsan. Perempuan tersebut mengantarkan Ibu saya ke mobil. Singkat ceritanya begitu. Saya menyukainya pada pandangan pertama. Karena tak ingin terjadi fitnah, maka hari ini juga saya datang memintanya pada bapak, untuk menghalalkannya."
Pak Umar menghela nafas.
"Apa pekerjaanmu?"
"Mengurusi dua toko kelontong milik Ayah Rahimahullah. Saya juga mengambil kerja sambilan menerima jasa design grafis."
Pak Umar mengangguk-angguk, sambil memperbaiki letak kacamatanya.
Pertemuan tersebut begitu singkat. Tak sampai 30 menit. Dan lamaran pemuda asing itu di terima oleh pak Umar.
***
Gelar akad dan resepsi pernikahan telah berlangsung. Setelah dua pekan lalu terjadi pertemuan antara pak Umar dan pemuda yang kini jadi menantunya.
Kedua mempelai kini berada di bilik pengantin, yang telah di dekorasi sedemikian rupa, indah dan romantis. Mereka duduk bersisian di tepi ranjang. Nampak sekali kecanggungan diantara mereka.
Si pemuda mulai berkeringat dingin. Kembali rasa gugup menghinggapinya. Ini pertama kali baginya, begitu dekat dengan seorang wanita selain ibunya. Bahkan, hey, sekarang mereka berdua-duaan saja, di dalam ruang tertutup. Oh, bagaimana bisa dia tidak segugup itu.
"Mmmm... Maaf, kalau aku, eh, aku tidak tahu harus memulai darimana mengobrol denganmu. Ini pertama kali bagiku."

"Aku juga." Jawab si bidadari dengan suaranya yang anggun.

"Maksudku, aku belum pernah sedekat ini dengan wanita."

"Sebelum kau mengenal Sunnah, apakah kau tidak pernah berpacaran?" Selidik sang istri.

"Tidak. Aku sedari dulu malu dekat dengan perempuan. Kau adalah wanita kedua yang menghuni hatiku." Jujur si pemuda.

Ada perasaan senang sekaligus cemburu yang menghinggapi si wanita demi mendengar kejujuran dari pasangan halalnya itu.
"Siapa wanita pertama itu? Mantan calon istrimu?" Nada suaranya sudah berubah menjadi lebih tinggi.

Sang suami tersenyum.
"Bukan. Wanita pertama itu Ibuku. Dan kau wanita kedua setelahnya."

"Terima kasih sudah memilihku. Meski kau menjadikanku wanita kedua, aku sungguh bahagia."
Mereka saling melempar senyum malu-malu.

The end.

***
Maaf, saya khilaf lagi untuk menulis fiksi. Gak bisa kalau gak di upload.

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)