Pernikahan : Not the End of Everything



          
  Pernikahan adalah kata keramat nan sakral, bagi orang-orang yang memilih mensucikan jiwanya dengan menjauhi pacaran. Ialah impian kaum adam dan hawa untuk mencari keridho-an Tuhannya. Beribadah sepanjang hayat bersama sang kekasih hati yang telah Allah halalkan, adalah impian yang sangat indah.
Namun, menikah bukanlah akhir dari segalanya. Justru di bahtera baru tersebut, perjuangan berbeda di mulai. Lebih sulit ataukah lebih mudah,tergantung bagaimana dua sejoli mampu bekerja sama membangun peradaban rabbani.
Not the end of everything. Bahkan setiap orang memiliki ujian tersendiri dalam hal ini. Makin baikkah setelah memiliki pasangan, atau justru semakin buruk. Pengaruh pasangan bukan tolak ukur utama. Meski pun, sangat-sangat dianjurkan untuk memilih pasangan yang baik (terutama dari segi agamanya), namun dari diri pribadilah yang harus mengshalih/ahkan diri. Agar, ujian apapun yang datang, kita siap menangkal dengan bekal iman dan taqwa. Mari kita mengambil hikmah dari kisah orang-orang pilihan terdahulu. Wanita-wanita yang Allah jamin masuk Surga.  Maryam ‘alaihi salam. Yang namanya terabadikan dalam satu surah di dalam Al Qur’an. Ia di uji dengan tumbuhnya benih di dalam rahimnya tanpa seorang suami. Dikucilkan oleh masyarakat pada masa itu. Tentu saja. Namun, seorang Maryam bisa menghadapi itu semua dengan bekal keimanannya kepada Allah. lalu, kita yang pada zaman ini, duhai wanita-wanitaku, ketika pertanyaan “kapan nikah?” diusia seperempat abad keatas, menjadikan kita merutuki nasib, betapa kerdil iman kita. Yah, saya pun begitu. Masih berusaha tabah akan ujian “terlambat dijemput” dengan merapalkan asa, bahwa Allah sedang menyiapkan yang terbaik untuk saya (insya Allah, jika saya berusaha jua memantaskan diri disini). Karena, tidak hanya saya dan engkau,duhai saudariku. Betapa banyak diluar sana. Tak mampu lagi kubilang dengan jemari. Banyak yang kukenal. Bukan mereka tak cantik, tak sholihah, tak cerdas, tetapi memang belum saatnya. Betapa banyak yang sering berkata “saya belum siap menikah” tapi keesokan harinya, tersebarlah undangan dengan cetakan namanya di atas kertas. Mohon bersabar saudariku. Hadiah atas kesabaran itu pasti indah. Yakinlah.
Mari beranjak ke sosok wanita penghuni Surga yang lain. Asiyah istri Fir’aun. Semua mengenal sosok suaminya. Seorang Raja yang menganggap dirinya Tuhan. Asiyah, bukan hanya dibawa kekuasaan fir’aun sebagai rakyat pada saat itu, tetapi ia serumah sepembaringan. Namun, lagi-lagi Allah buktikan, bahwa bukan soalan siapa pasangannya, namun bagaimana keimanannya. Ia adalah wanita yang Allah janjikan Istana di Surga atas kesabaran dan keistiqomahannya hingga akhir hayat.
Saya teringat beberapa menit yang lalu, di salah satu akun sosmed, muncul teman lama saya. Salah satu teman akrab di bangku kuliah. Orangnya hanif, kalem, tak banyak bicara, danmudah diajak dalam kebaikan. Alhamdulillah, dari statusnya saya dapati ia telah menikah beberapa bulan yang lalu. Namun, yang membuat hati saya gerimis, pakaian yang ia kenakan. Sudah tak seperti dulu. Bahkan dihari pernikahannya ia melepas jilbab. Wal’iyadzubillah. Saya paham,bahwa suaminya bukanlah seorang “ikhwah”, tetapi betapa mempertahankan kewajiban kepada Allah adalah paling utama ketimbang menuruti perintah suami. Tapi, sekali lagi, kesholihan pasangan bukan tolak ukur untuk istiqomah setelah menikah. Karena beberapa fenomena terjadi, pun ia bersuamikan seorang “ikhwah” tak menjadikannya teguh memegang prinsip agama sebagaimana dulu ketika ia masih lajang. Yah, perkara hidayah Allah yang beri. Maka, menjalankan nasihat Rasulullah dengan senantiasa merapalkan do’a agar teguh diatas agama ini “yaa muqallibal qulub tsabbit qalbi alaa diinik” nampaknya harus kita ingat kembali.
Hidup berisikan pilihan-pilihan. Bukan soal menikah atau masih melajang, tapi bagaimana hari—hari penuh manfaat dengan ibadah kepada Sang Pemilik Cinta. Bukan perkara menikah dengan yang sholih atau lelaki awwam, tetapi bagaimana diri tetap istiqomah hingga akhir hayat. Sungguh, ujian kita berbeda-beda, duhai saudariku. Tetapi yakinlah, semua ujian memiliki porsi sesuai kemampuan yang diuji. La yukallifullahu nafsan illa wus’aha.
Jangan berhenti memperbaiki diri. Jangan berhenti berproses menjadi lebih baik. Bukan sekedar menginginkan pasangan yang baik, cita-cita kita lebih tinggi dari pada itu, yakni Jannatul Firdaus.
Jika engkau baik, jangankan pasangan yang baik, Surga pun Allah beri.
Sekian.
Malam yang beranjak pekat,
Makassar, 25 Ramadhan 1438 H

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)