Berbalik Arah- Cerbung



            Penantian Yasmin terasa begitu menjenuhkan. Hari demi hari dia lewati dengan menghitung detak-detik waktu yang berjalan. 2 bulan adalah waktu yang sangat lama baginya, untuk menunggu keputusan Ardian, lelaki yang bertaaruf dengannya saat ini. Mereka dikenalkan oleh sahabat Yasmin –Ilana, yang sekaligus rekan kerja Ardian di Rumah Sakit. Sepekan setelah pertukaran biodata, akhirnya Ardian meminta Yasmin lewat Ilana untuk menunggu keputusannya dua bulan lagi.
Dan kini, disinilah Yasmin. Duduk termangu di teras rumah, sambil menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang. Mimpi tentang kebahagiaan bersama Ardian menari-nari dipelupuk matanya. Sesekali membuatnya tersenyum, namun sekonyong-konyong mimik wajahnya berubah sendu. Tarikan nafas panjang menandakan kesesakan didadanya akan segala rasa yang hadir. Rindu, takut, khawatir, dan harapan bercampur jadi satu. Segala kemungkinan bisa terjadi kedepan. Bisa jadi Ardian adalah pelabuhan terakhirnya, dan bisa jadi bukan. Kadang ia berfikir, pantaskah dirinya mendampingi lelaki sesempurna Ardian. Seorang dokter, shalih, cerdas, kritis, sangat menghargai perempuan, dan yang paling penting seorang penulis, hal yang diidam-idamkan sedari dulu oleh yasmin, menjadi istri seorang penulis. Tapi, sungguh, rapalan do’anya dan segenap ikhtiar yang dia lakukan, semuanya kembali kepada penentu takdir. Rabbnya yang Maha Kuasa.
***
“Halo. Siapa ini?”
Yasmin baru saja menerima panggilan telepon dari seseorang yang tak dia kenal.
“Maaf, ini dengan Yasmin?”
Suara berat dari seberang sama sekali asing ditelinga Yasmin. Dan lagi pula, ia tak banyak mengenal lelaki asing diluar sana.
“betul. Anda siapa? Ada keperluan apa?”
“maaf sekali lagi, saya tidak bisa memberitahumu siapa saya, setidaknya untuk saat ini. Saya ingin meminta alamatmu dan nomor telepon walimu, kalau bisa.”
“saya tidak kenal anda. Dan maaf, saya tidak melayani lelaki asing yang kerjaannya cuman main-main sama perempuan.”
Yasmin langsung memutuskan telepon secara sepihak. Ia tak terbiasa diperlakukan seperti itu. Jika lelaki itu berniat baik, kenapa harus menyembunyikan identitasnya. Sungguh mengherankan.
***
Lelaki itu mendengus kesal. Ia belum selesai bicara, tapi sambungan teleponnya dimatikan begitu saja. Padahal nomor wanita tersebut susah payah ia cari di bagian administrasi. Bahkan harus bernegoisasi lama dengan pak Munawwar –staff administrasi di kampusnya- untuk mendapatkan nomor tersebut. Ck. Wanita itu sungguh sulit ia jangkau.
***
“Yan, selamat yah. Beruntung sekali kau bisa dapat beasiswa ke belanda.”
Sms Dr. Ratna masuk ke Handphonenya. Ia sangat bersyukur. Cita-citanya untuk melanjutkan residen di belanda sedikit lagi tercapai. Bahkan ia sudah menggenggam tiket beasiswa untuk kesana. Segala puji bagi Rabb semesta alam atas segala limpahan kebaikan yang dikaruniakan kepadanya.
Namun, dibalik kebahagiaan itu, dilema menyusup kedalam sanubarinya. Lalu,bagaimana dengan Yasmin? 0h, Ardian lupa hal yang satu itu. Kesibukannya bekerja di rumah sakit telah menyita banyak waktu dan fikirannya. Apa yang harus ia lakukan? Tak terasa waktu 2 bulan berlalu begitu saja. Dan ia belum siap berbicara kepada Yasmin. ia harus memutuskan. Tapi, ia tak ingin mengecewakan gadis itu. Perempuan selalu menjadi godaan terberat baginya. Hufftt.
***
Anda gila, yah. Bahkan memberitahu nama anda saja tidak. Lalu mau datang ke rumah saya melamar?!
Saya lagi berproses dengan yang lain. Jadi, tolong jangan ganggu saya lagi.

Deretan sms tersebut ia perjelas lagi. Jadi, ia sudah tidak punya kesempatan lagi. Bahkan,ia sudah kalah sebelum berperang. Menyedihkan.
***
Tolong yah, Lan. Sampaikan permohonan maaf saya sebesar-besarnya kepada Yasmin. Saya tidak bisa melanjutkan proses dengannya. Saya harus berangkat ke belanda sepekan lagi. Sekali lagi maaf. Jika memang kami ditakdirkan berjodoh, insya Allah, akan ada saatnya kami dipertemukan. Sampaikan terima kasih saya juga. Karena ia sudah mau memilih saya. Setiap pilihan akan dipertanggung jawabkan. Dan setiap kita punya hak kemerdekaan untuk memilih. Wassalam.
Deretan pesan dari Ardian kepada Yasmin yang dikirim ilana lewat screenshoot gambar sejam yang lalu itu, belum jua menghentikan tangisan Yasmin. matanya sudah membengkak. Satu kotak tissue telah habis dihadapannya. Benarlah kata-kata petuah, bahwa jika kau berharap terlalu tinggi kepada manusia, maka kau akan kecewa. Terbuktilah sekarang. Yasmin mengaku salah. Salah menempatkan harapannya. Harusnya segalanya terlabuhkan kepada Sang Pemilik Hati. Bukan kepada makhluk-Nya. Ooh.. dia menyesal yaa Rabb.
***
“namanya Aksa, Yas. Kamu kenal?”
Yasmin menggeleng. Siapa sih yang di sebut Nanda itu. Ia juga heran. Tak ada angin tak ada hujan, Nanda, satu kelasnya ditingkat 3, yang notabenenya tidak terlalu akrab dengannya, tiba-tiba menghubunginya, dan mengatakan ingin ke rumah Yasmin. dan sekarang, Nanda benar-benar datang.
“aku baru tahu, kalau ada nama Aksa di jurusan kita.”
Yasmin kembali meyakinkan Nanda, atas ketidaktahuannya tentang lelaki yang bernama Aksa.
“ck. Iya sih. Kamu mana kenal laki-laki di jurusan. Lah wong kamu tidak pernah bergaul dengan lelaki mana pun di kampus.” Nanda sepertinya baru tersadar akan fakta yang satu itu.
“dia itu naksir kamu dari kita semester 5. Sudah dua tahun, Yas, dia memendam rasa.” Nanda kembali memaparkan sosok Aksa yang diiringi dengan tawanya yang menggema di kamar Yasmin.
“Ha? Selama itu?” Yasmin seakan tak percaya akan hal itu. Kenapa bisa Aksa menyukainya?
Bersambung..
Assalamu ‘alaikum readers kece nan menawan cetar badai.. hahaha. Ini cerita baru, tapi bersambung. Hmmm.. mumpung jaringan di kampung yang terpencil ini lagi baik, maka kuluangkan waktuku untuk menulis sedikit disela rutinitasku sebagai calon IRT yang sudah bekerja jadi IRT. Wkwk. Semoga suka. Happy reading...

Lanjutannya kapan? Tunggu ajah. *senyummanis

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Tentang Buku "Berdamai dengan Takdir"