Sepucuk Rindu Untuk Ibunda



SEPUCUK RINDU UNTUK IBUNDA
Oleh : ‘Afiyfah Chairunnisa
Entah kumulai dari mana menuliskan kisah tentangmu, Bunda. Terlalu banyak kepingan berserakan di masa lalu yang pernah kulalui bersamamu. Tentang kehidupan kita yang sederhana, tentang setiap pengorbananmu, tentang cintamu yang tulus, tentang kasih sayangmu yang tak lekang oleh waktu.
masih lekat diingatanku, tentang memori silam di sudut kamar kecilku yang berdinding papan, kau menghampiriku yang sedang menulis catatan kecil di lembaran kosong pada novel yang kubaca. Catatan kecil yang berisikan sebuah mimpi. Kau membacanya pelan, sesekali memicingkan matamu yang memburam karena usia. “aku ingin jadi jurnalis dan novelis. Aku ingin bisa menulis. Aku ingin berdakwah lewat tulisanku. Aku ingin mengenalkan islam lewat karyaku, walau ilmu agamaku belum seberapa, tapi aku akan berusaha untuk mewujudkan impianku”. Kau tersenyum menatapku setelah membacanya. Matamu seakan  berbicara, meyakinkanku bahwa suatu saat, mimpi itu pasti terwujud. Dan catatan itu masih tersimpan hingga kini. tersisa selebaran, yang kuselip dalam buku harian.
Hidup dirantauan tak menjamin kehidupan yang lebih baik. Pun dengan keluarga kita. Justru kondisi perekonomian kita ketika itu makin terpuruk. Kakao terserang penyakit, timbangannya ringan dan harganya murah, membuatmu harus memutar otak, masak apa untuk hari ini? Hingga sebungkus mie instan ketika itu adalah makanan ternikmat bagi kami –keempat anak-anakmu-. Sebungkus itu pun bisa kami makan dua kali. Mienya dibagi dua, juga bumbunya, lalu sisanya dibungkus karet gelang, disimpan untuk esok hari. Hatiku gerimis ketika mengingat dimana makanan instan yang telah diseduh air panas tersebut urung kau suap, lalu kau sodorkan padaku, dengan berdalih bahwa kau sudah kenyang. Semoga Allah merahmatimu, Bunda.
Kau tak mengeluh, meski hidupmu berubah seratus delapan puluh derajat setelah menikah. Anak dari keluarga ningrat dan pegawai negeri, tentu membuatmu tak terbiasa dengan tanah garapan, belantara, dan hidup dibawah sengatan matahari. Bukankah dulu kau pernah bercerita, bahwa masa remajamu lebih banyak di rumah?! Membaca buku, menjahit, dan menyulam. Karena Nenek sangat keras didikannya terhadapmu. Ya. Di masamu, seorang perempuan sangat besar siri’nya. Katamu, bersepeda saja didepan rumah, akan membuat Nenek marah. Kenapa? Karena kau seorang perempuan. Kau harus punya malu. Itu kata nenek padamu. Hingga kehidupan yang keras harus kau jalani. Mencari kayu bakar, mandi air gambut yang seperti seduhan teh, membantu Ayah di kebun, kau lakoni demi baktimu sebagai istri, ikut kemana pun suami melangkah.
Kuberanjak, pada masa-masa remajaku. Cita-citaku masuk di SMK keperawatan harus kukubur dalam-dalam, karena kau tak ingin aku pergi jauh darimu. SMK keperawatan hanya ada di kota. Hingga terpaksa aku masuk di SMK yang ada di desa. dan takdir menggiringku untuk meninggalkanmu selama 4 bulan, karena Sekolah mewajibkan Praktek Kerja Industri untuk setiap siswa di luar provinsi bahkan diluar pulau sulawesi.
Hari itu, terpincang-pincang kau menghampirku yang baru turun dari mobil, wajahmu yang termakan usia, berbinar penuh kegembiraan melihat kedatanganku. Tanganmu yang rentah nan mengeriput, mendekapku erat. Meluapkan rindu yang terpendam selama 4 bulan. Dan yang membuat hatiku teriris, kau dalam keadaan sakit, saat aku kembali pulang ke rumah. Aku ingin membuat kejutan untukmu dengan tidak memberitahu kepulanganku. Padahal kau sudah merecokiku dengan pertanyaan di telepon “kapan pulang, nak?” karena hari itu sehari menjelang lebaran ‘idul Adha. Tapi, justru akulah yang terkejut dengan kondisimu.
3 bulan setelahnya, kondisimu semakin membaik. Meski pun kau belum bisa beraktivitas seperti biasanya. Aku yang biasanya jarang di dapur, harus rela menggantikan peranmu. Memasak, mengambil air disumur, dan mencuci pakaian.
Hari berlalu, kau mulai pulih. Jalanmu sudah normal seperti biasa, dan tibalah hari dimana kau ingin mewujudkan rasa syukurmu dengan mengundang para tetangga untuk makan-makan di rumah.
Seharian itu kau sibuk berkutat di dapur. Memasak ini itu, menyiapkan segala jenis makanan untuk acara nanti malam. Hingga menjelang sore kau baru beristirahat. Dan kali ini, lagi-lagi kau buat kejutan untuk semua orang. Kejutan yang luar biasa. Yang membuatku seperti tak lagi berpijak di bumi, aku bagai kehilangan separuh jiwa, kehilangan tempat berpegangan. Kudapati tubuhmu tak lagi bergerak ditempat tidur. Padahal baru beberapa menit yang lalu, kau mengangkut air ke kamar mandi untukku. Bahkan belum selesai aku membersihkan badan. Secepat itu kau pergi meninggalkanku. Aku kehilangan Ibu sekaligus sahabat. Kau pergi untuk selamanya di malam jum’at menjelang magrib awal tanggal 13 januari 2012.

Tubuhmu kaku
kau membisu
kepangkuan siapa lagi ku menangis
jika nanda kau tinggal sendiri di dunia ini

Ibu,
Aku nelangsa
tanpa kasihmu

bunga layu
ranting melapuk
pipit kecil mencicit pilu
pergimu, tinggalkan derita untukku

kini,
tersisa do'a di balik sudut mataku yang basah
melantun disetiap sujud dan dikeheningan malam pekat
semoga engkau dinaungi Rahmat-Nya,
diterangi Cahaya-Nya

Disini, aku mengenangmu. Meluapkan rinduku pada sajak dan berbaris-baris kata. Bunda, kasihmu tak lekang oleh waktu. Bahkan, hari ini di 1990 hari setelah kepergianmu, gurat senyummu masih terjangkau diingatanku. Segala pengorbananmu, kesabaranmu, dan keikhlasanmu, akan jadi teladan untukku. Aku akan belajar jadi perempuan hebat sepertimu. Semoga akhlak mulia yang berhias pada dirimu, menjadi penghantar dikau menuju Jannah-Nya. Kumenanti pertemuan denganmu disana. Tempat dimana tak ada derita yang dulu pernah kau rasa. Yang tersisa hanyalah kebahagiaan dan kebahagiaan.
Sepucuk rindu kukirimkan untukmu. Berlantunkan do’a atas bahagiamu di alam sana. Bunda, pada angin dan rintik hujan kubisikkan, aku cinta... aku rindu..padamu.

Kota Daeng, 21 Juli 2017
Putri Bungsumu tersayang


Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)