Kisah di Bulan November (Ann, teman kecilku)-CERPEN
Ini kisah
teman masa kecilku. Seorang gadis yang biasa kupanggil “Ann”. Aku baru
bertemu kembali dengannya setelah 15 tahun. Dia teman bermainku sewaktu kecil,
teman sekolah, dan masih ada hubungan kekerabatan. Dia dikenal sebagai anak
yang pintar di sekolah, dan teman sepermainan yang menyenangkan karena dia
punya banyak jenis mainan di rumahnya. Ketika berumur 8 tahun, terakhir aku
melihatnya, dia masih berpenampilan seperti anak laki-laki, dengan rambut
cepak. Maklum, saudara-saudaranya semua laki-laki. Dia kemudian ke kota,
tinggal disana, bersekolah lalu bekerja.
Namun, yang membuatku tercengang adalah ketika bertemu
kembali dengannya setelah belasan tahun, dia berubah drastis. Dia menjelma
menjadi wanita dewasa yang begitu anggun berbalut pakaian wanita sholihah yang
longgar dan terjulur. Kulitnya bersih sekali. Padahal, kuingat dahulu zaman
kecil, kulitku jauh lebih cerah ketimbang kulitnya yang kecoklatan. Sungguh,
dia menjadi Ann yang berbeda.
Dia datang ke tempat kelahirannya bukan tanpa maksud. Dia
punya hajat penting di hari ini. Karena aku termasuk sanak familinya yang
dekat, aku pun turut hadir. Sedari pagi semua orang tampak sibuk. Terutama
ibu-ibu. Mereka sibuk di dapur memasak ini-itu. Ann dan aku juga berada disana.
Mengupas bawang dan memotong-motong
sayur.
“’orang mana,
Ann?” tanyaku sambil menatap wajahnya
sekilas, lalu kembali fokus
mengiris-iris bawang.
“dari kota A” jawabnya
menyebut kota tempat dia belajar dan bekerja sekarang.
Dia tak bisa menyembunyikan raut
bahagia dan wajah malu-malunya.
“kenal sejak kapan?” Tante Vera, sepupu Ayahku sekaligus
Sepupu Ibu Ann, ikut melontarkan pertanyaan. Sepertinya ini akan menjadi acara
QnA yang menegangkan buat Ann.
“4 bulan yang lalu, Tan”
“ooh, belum lama saling kenaaal.” Tante yang lain menimpali.
“kenal darimana?”
“teman yang ngenalin”
“keluarganya baik kan, Ann?”
“Insya Allah, baik.”
“memangnya sudah kenal dekat dengan keluarganya?”
“Ann sering ngobrol kok sama kakaknya. Dan sudah kali ketemu
sama Mamanya. Sekali pernah ke rumahnya.”
“belum terlalu dekat itu, Ann.”
“tapi sudah yakin Ann, sama laki-laki ini? Ganteng nggak?”
“kerjaannya apa, Ann?”
“orangnya baik kan, Ann?”
“maharnya nanti berapa, Ann?”
Ya Allah, pertanyaan yang kumulai itu disambung bertubi-tubi
oleh Ibu-Ibu di dapur. Aku kasihan sama Ann, yang harus meladeni pertanyaan
mereka. Salahku juga, kenapa membuka percakapan dengan Ann dengan bertanya soal
calon suaminya.
“eh eh eh, sudah jam sepuluh. Yang mau di lamar, ayuk buruan
siap-siap. Nanti bau bawang di depan calon mertua.” Ibuku yang cerewet yang
baru pulang dari Toko membeli kue segera menyuruh Ann bersih-bersih. Ann hanya
mesem-mesem mendengar Ibuku. Dia bangkit dari tempat duduknya menuju kamar
mandi.
Pertengahan hari, dering telepon mulai bersahut-sahutan.
Keluarga besar Ann sudah berkumpul. Dan rombongan calon mertuanya mengabarkan
bahwa mereka sudah di jalan.
Aku masuk ke kamar menemui Ann yang lagi duduk di pinggir
ranjang. Dia tampak melamun seperti memikirkan banyak hal.
“Kenapa, Ann?”
Dia nampak kaget mendengar suaraku. Namun seketika ia
tampilkan senyumnya.
“tidak apa-apa. Hanya sedikit gugup.”
“ah, biasa itu. Aku saja bukan yang ingin di lamar juga
gemetaran. Apalagi kamu.”
“gemetaran karena gugup?”
“bukan. Karena lapar.”
“hahaha” kami terbahak bersama di dalam kamar.
***
“Rombongan sudah datang”. Wajah Ibuku muncul dibalik pintu
kamar.
“Ann siap-siap, ya!” sambung Ibuku.
“memangnya Ann harus ada di depan juga, Tan?” tanya Ann yang
sudah pasti jawabannya. Mungkin saking gugupnya lupa kalau dia yang mau
dilamar.
“nggak harus sekarang keluarnya, nak. Nanti kalau sudah di
panggil untuk dipasangkan cincin oleh calon mertuamu, baru kamu keluar.” Jelas
Ibuku.
Ann mengangguk paham.
Tak berselang lama, mungkin hanya 5 menit setelah Ibuku
keluar dari kamar, panggilan untuk Ann sudah datang.
Aku menemaninya, terus berada di sampingnya. Hingga ia duduk.
Namun, aku tidak tahu apa yang dibahas oleh orang-orang yang
ada di ruangan ini. Suasana begitu tegang, terlebih wajah-wajah keluarga Ann.
Sepertinya terjadi sesuatu yang mengejutkan.
Suara-suara terus bersahut-sahutan. Hari
ini yang harusnya pertemuan dua
keluarga dalam suasana hangat , justru malah memanas. Yang diharapkan adalah
perbincangan yang menyenangkan dan membahagiakan, yang pada kenyataanya hanyalah perdebatan sengit
dua keluarga .
Beberapa menit
berlalu, namun berdebatan itu
tak juga
ada ujung pangkalnya, akhirnya Ann
mundur kebelakang. Wajah yang
kutemui pagi tadi yang berseri-seri
kini begitu muram.
Aku masih saja
mengikutinya ke dapur. Khawatir dia
melakukan hal yang tidak-tidak.
Misal dia mengaambil pisau lalu memotong-motong sayur. Eitss, jangan ikutan tegang, guys.
Biar kami saja yang tegang disini.
Kalian santuy saja, membaca sambil
nge-teh bareng keluarga.
Ternyata Ann
tidak mengambil pisau, melainkan
gawainya yang di meja
makan. Mungkin dia mau googling “cara
mendamaikan dua keluarga
yang berseitegang”. Apaan
sih? Aku kok jadi kocak begini.
“kenapa jadi begini?
Semuanya berantakan. Kamu nggak
ngomong apa sama keluarga kamu? Ini tuh jadi nggak jelas. Keluarga kamu datang bukan buat melamar aku, tapi
bertengkar sama keluargaku!” Ann nampak marah-marah dengan gawai menempel di
telinga.
“kalau kayak begini,
nggak usah dilanjutkan.” Ujar Ann lagi lalu meletakkan gawainya kembali di
atas meja makan.
Ia terduduk di lantai sambil mengusap matanya dengan ujung
keudung. Dia menangis. Sekejap saja kebahagiaannya hilang.
Kalau aku di posisi Ann, aku bersyukur sekali,
pernikahan tersebut dibatalkan. Mana mau
aku punya mertua kayak calon mertuanya
yang judess-judes dan songong. Pasti Ann akan menjadi menantu yang tertindas.
Atau digosipi sama keluarga-keluarga suaminya sebagai perempuan matre. Cuma pengen harta dan
kekayaan saja. Fiks, anggap saja aku korban sinetron.
“sudahlah, Ann. Jangan bersedih. Akan ada hikmah di balik
kejadian ini.” Aku ikut duduk di lantai sambil mengusap punggungnya.
“aku terlalu berharap banyak padanya. Kukira dia lelaki yang
selama ini kucari. Ternyata aku salah.”
“Yaa. Kau salah, Ann.
Karena kau berharapnya sama manusia. Bukan sama Allah. Kau sandarkan kebahagiaanmu
pada makhluk, makanya kau jatuh.
Instropeksi diri, Ann.”
“aku terlalu panjang angan-angan. Kukira pelaminan akan segera di pijaki telapakku. Namun, aku justru
harus menggulung tikar mimpi-mimpi yang belum selesai kurajut.”
“hmm... mimpimu mungkin terlalu tinggi, Ann. Temanku pernah berkata padaku, jangan melangit. Kalau jatuh... sakit.”
Ann masih saja menangis.
“kejadian hari ini akan berlalu. Dan kau akan simpan sebagai kenangan. Olehnya maafkan. Berdamailah dengan sekitar, terutama dengan dirimu. Biar tak ada dendam. Setidaknya,
ketika kau mengingat kejadian hari ini, kau bisa tertawakan sebagai lelucon terlucu dalam hidupmu. Aku tidak
punya kata-kata bijak, Ann. Netizen yang
memiliki itu. Aku cuman ingin menyuruhmu berhenti menangis sekarang dan
lanjutkan lagi hidupmu.”
“aku tak juga ingin
mati sekarang”
“siapa tahu kau khilaf, Ann. Kau kan cuman manusia bukan
malaikat. Kau punya hati yang bisa
patah, retak, remuk. Dan segala tindakan
buruk bisa diambil oleh seseorang yang hatinya lagi bermasalah.”
Isak tangis Ann jadi
makin keras.
Alhamdulillaah, dia
masih mampu menangis. Karena sakit yang terdalam justru adalah ketika kau sudah lupa bagaimana caranya menangis,
saking pedihnya.
***
Ann pamit kembali ke
kota. Melanjutkan hidupnya, sambil
membawa sekantong kenangan pahit dari
tempat kelahirannya.
Ini bukan kisah Joe
sang cerdikiawan. Ini hanya cerita tentang teman kecilku, teman
sepermainan yang masih memiliki ikatan
darah denganku, namanya Ann. Gadis yang tabah, semoga.
Sekian.
Comments
Post a Comment