Memotivasi atau Membully?!



Setiap orang menjalani takdir yang berbeda-beda. Entah perihal rezeki, maut, atau pun jodoh. Saya ingin mengerucutkan topik ini pada "perempuan". Beberapa dari kaum kami memiliki takdir menikah di usia dini. Bahkan di kampung, kebanyakan mereka dinikahkan di usia masih sekolah menengah pertama atau atas. Ada yang menikah ketika masih duduk di bangku kuliah, ada juga yang langsung di lamar setelah wisuda. Tetapi, tidak sedikit yang "menjalani" takdirnya menjadi wanita karier setelah menyelesaikan kuliah. Kenapa saya memilih kata "menjalani" bukan "memilih"? Karena pada hakikatnya setiap usaha yang kita upayakan ada campur tangan oleh yang Maha Kuasa. Tak juga saya katakan bahwa manusia tidak bisa memilih jalan hidupnya, ataukah manusia sebebas-bebasnya penentu takdir yang dia jalani. Tentu saja hal ini berimbang. Usaha dan juga takdir yang telah digariskan. Dan alasan lain dari pilihan kata antara "menjalani" atau "memilih", saya sandarkan pada pengalaman pribadi saya. Ketika orang-orang diluar sana berkomentar ria tentang hidup saya, yang di usia seperempat abad lebih sibuk bekerja ketimbang menikah, sama sekali bukan pilihan tapi perjalanan hidup. Saya tidak merancang dahulu kala ketika menulis list-list  mimpi saya, bahwa saya tidak ingin menikah dahulu. Saya ingin bekerja, mencari uang, biar bisa beli ini beli itu. Tidak pernah. Justru yang saya tulis adalah saya ingin menikah di usia 22 tahun. Namun, qadarullah jalan hidup saya adalah ini. 
Tidak mudah menjalani hal ini ditengah masyarakat yang hampir seluruhnya menganggap bahwa pernikahan adalah prestasi bukan jalan hidup. Pernikahan identik dengan perlombaan. Maka siapa yang lebih dahulu menuju pelaminan dialah pemenangnya. Siapa yang lebih dahulu sebar undangan dialah sang juara. 
Pun di lingkungan saya. Tempat bekerja, tempat ngaji, atau pun di tengah keluarga. Pernikahan bagi mereka kompetisi. Maka yang terlambat menikah siap-siap jadi bahan bulan-bulanan. 
Saya ingin tertawa miris ketika salah seorang rekan kerja yang dulunya sama-sama saya ketika masih lajang, tiba-tiba ikut Membully kami yang belum menikah setelah dia berhasil menjadi pemenang dalam kompetisi ini. Dan yang makin lucu lagi, dia katakan bahwa bullyan tersebut adalah motivasi. Ha!
Manusia sekarang memang sudah terdesign hati mereka untuk tidak terpakai. Bahkan orang yang katanya pada "ngaji" pun ambil peran membully para bujang dan lajang. 
Saya sangat setuju dengan sebuah narasi mbak Ika Natassa tentang menikah. Katanya kurang lebih, orang-orang yang sibuk ngurus privasi orang lain, sibuk bertanya "kapan nikah" kalau kita hadir kondangan, harusnya dikembalikan ke mereka "memangnya ada calon, kenalin dong!" Atau ditempat lain yang saya pernah baca/dengar, ketika diberi pertanyaan "kapan nikah?", Ngomong sama yang nanya "memang mau bayarin resepsi saya?!" Mereka pasti hanya bisa bungkam atau cengengesan tidak jelas. Makan tuh omongan!
Begitulah orang-orang di negara kita tercinta ini. Mental pembully, kepo, basa-basi berlebih. Mereka itu sebenarnya pernah pula berada di fase "nggak enak ditanya kapan nikah", tapi mereka tidak belajar dari sana. Jika saja mereka punya hati, tidak akan rela mereka membully teman sendiri, saudara sendiri, dan tidak akan ada orang-orang yang pamer tentang suami-suami mereka di dunia maya atau pun di dunia nyata.  Jika mereka sedikit berbaik hati, mereka akan menyisipkan do'a untuk saudarinya yang belum merasakan indahnya dunia pernikahan, atau berusaha mencarikan solusi misal dikenalkan dengan seseorang. Wkwk

Dan terakhir dari tulisan yang penuh uneg-uneg ini, bagi yang telah menikah, jangan suka cerita perihal suami kalian pada perempuan lajang. Apa manfaatnya coba? Biar saudari kalian tahu kau bahagia punya suami? Atau pengen nyari madu, mbak?

Sekian.

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)