Ayah, (Katanya) Cinta Pertama Seorang Anak Perempuan


Beberapa kali aku sudah bercerita tentang Ibu. Dan hari ini aku ingin bercerita tentang sosok yang disebut Ayah. 
Banyak anak perempuan yang begitu mengagumi Ayahnya. Hingga sering muncul judul romantis "Ayah adalah cinta pertama bagiku". Tapi, hal ini tidak berlaku bagi seorang perempuan yang menulis ini. 
Ibu pernah bercerita, bahwa sewaktu kecil, ketika Ayah merantau ke negeri Jiran, aku dilanda demam berhari-hari. Konon, aku rindu kepada Ayah. Seiring waktu yang menjadikanku dewasa, aku yang justru merantau bertahun-tahun. Pulang hanya saat lebaran idul Fitri. Meski kutahu, kepulanganku tak pernah diharapkan oleh siapa pun yang ada di rumah, tak disambut hangat sebagaimana jika saudaraku yang lain pulang dari rantauan. Aku tahu alasannya, karena aku bukan anak yang membanggakan Ayah. Tak ada rindu buatku.

Keadaan yang membuatku terlampau dewasa melebihi usiaku. Dan kerap pikiran-pikiran jahat itu memenuhi otakku setelah beranjak remaja "sejak kecil, Ayah memang tidak pernah sayang padaku" sambil memutar ulang semua kaset masa lalu yang mengiris-ngiris hatiku.

Aku memang tidak dekat dengannya, baik fisik maupun psikis. Sebelum Ibu pergi, kami pun jarang mengobrol. Apalagi sejak Ibu tiada. Kami layaknya dua orang asing yang hidup satu atap. Berbicara seperlunya, berinteraksi tak wajar, seperti bukan Ayah dan anak. Canggung sekali.

Aku membencinya. Sangat membencinya, dulu. Kepergian Ibu telah mengoyak hatiku. Mengambil semua kebahagiaanku dan meninggalkan kebencian yang mendalam pada sosok yang disebut "Ayah". Aku membencinya yang egois, pemarah, suka membentak Ibu, tidak menghargai orang lain, selalu merasa bahwa dirinyalah yang paling hebat di dunia ini. 

Hidayah lah yang mengubah hatiku hingga bisa berdamai dengan semuanya. Menghilangkan kebencian itu sedikit demi sedikit. Demi kecintaanku kepada Kekasihku, yang memerintahkanku untuk taat pada sosok yang bernama "Ayah". 
Dibalik segala sikapnya yang kubenci, dia tetaplah Ayahku. Didalam darahku mengalir darahnya. Dia mengabdikan separuh hidupnya demi kehidupanku. Dia memberiku makan selama 22 tahun, menyekolahkanku selama 16 tahun. 
Aku tahu, tak ada rindu buat anak sepertiku sebagaimana aku memang tak ingin merindukannya. Kuharap do'a-do'aku disetiap sholat untuknya menjadi wasilah Allah maafkanku atas apa yang terjadi antara aku dengan Ayah selama ini. 

Aku iri pada teman-teman yang sering bercerita tentang Ayah-ayah mereka yang penuh cinta. Yang baginya, Ayah adalah lelaki pertama yang membuat mereka jatuh cinta. Sedangkan aku tidak memilikinya.

Ayah, cinta pertama bagi seorang anak perempuan. Katanya sih, begitu. Benarkah?
.
.
.
📷 https://pin.it/f2gfv4ujnfmd4p

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Tentang Buku "Berdamai dengan Takdir"