Bintang Kejora_Cerpen



Namanya Bintang. Anak perempuan yang baru beberapa hari yang lalu pindah disebelah rumahku. Dia cantik. Kulitnya putih. Tinggi namun agak kurus. Rambutnya bergelombang. Kalau tersenyum terlihat gigi taringnya yang menyembul. Sangat manis. Dia bukan anak periang seperti teman sebayaku yang lain. Cenderung pendiam tapi mudah disayangi oleh orang-orang disekelilingku. Bahkan Ibuku lebih perhatian sama dia ketimbang aku. Seperti hari keduanya masuk ke sekolahku. Karena dia belum memiliki sepeda, Ibu menyuruhku memboncengnya. Tapi dasar anak tidak tahu terima kasih. Dia malah tidak mau. Sampai-sampai matanya berkaca-kaca karena dipaksa oleh mamanya untuk ikut denganku. Huuh! Apa aku sejelek itu?!
Akhirnya, ibu menyuruhku meminjamkan sepedaku padanya. Dan kalian tahu, aku sendiri harus jalan kaki ke sekolah. Apa aku marah padanya? Tentu saja tidak. Aku tetap mengajaknya bermain sepulang sekolah, meski pun dia enggan bermain denganku.
Teman-teman sekelasku yang laki-laki banyak yang suka padanya. Misal Si Iwan, memberi Bintang bunga kembang sepatu yang dipetiknya dihalaman sekolah. Atau si Roni yang menyanyikannya lagu-lagu cinta orang dewasa sambil menggendang-gendang meja. Atau si Malik, yang diam-diam memasukkan surat cinta di dalam tasnya. Tapi tidak ada yang dipedulikannya. Bahkan mereka dipermalukan di depan kelas. Anak perempuan itu sangat galak sama jenis kami. Aku? Cuma memperhatikannya dari jauh sambil cengar-cengir. Biarlah disangka gila. Asal aku bahagia.

Dia sangat dekat dengan keluargaku. Senang bermain dengan adikku yang perempuan, suka bercerita dengan kakak-kakakku ketika dia menginap di rumah, dan sering dimanja oleh Ibuku. Aku sudah berjanji didalam hati, kalau besar nanti aku ingin menjadikannya istriku.

Waktu berlalu. Bintang bertambah dewasa. Aku ikut kemana pun dia pergi. Meski pun dia tak pernah menggubrisku. Aku lulus di SD yang sama, masuk di SMP yang sama (tapi tidak pernah sekelas karena dia selalu masuk kelas unggulan). Di SMA, dia lulus di sekolah favorit, sedang aku tidak. Aku baru diterima setahun setelahnya. Dan dia menjadi kakak kelasku. Namun, aku tidak kerasan. Peraturan di sekolah tersebut terlalu banyak. Aku menyerah. Tapi di hari kelulusannya, tidak kubiarkan dia pergi dengan teman-temannya. Karena Papanya percaya padaku, maka akhirnya dia berhasil kubawa berkeliling seharian di kota. Kenangan terakhir kami sebelum dia berangkat melanjutkan studinya di kota lain.

2 tahun setelahnya, aku memberi kejutan. Aku masuk di universitas sama dengannya, dengan jurusan yang sama. Dia sungguh terkejut. Mungkin saking terkejutnya dia pura-pura tak mengenaliku ketika berpapasan di koridor fakultas.

Aku tak menyerah. Kuminta nomor teleponnya pada Abangnya. Kuhubungi dia malam itu juga, untuk mengungkapkan perasaanku. Dan betapa tidak beruntungnya aku. Telepon tersebut tak diangkatnya. Lama kemudian baru kuketahui dari adik Perempuanku kalau dia tak menerima telepon yang tidak dikenalnya. Aku mencoba lagi. Kukirimkan dia pesan singkat, bahwa yang menelepon itu aku. Akhirnya aku bisa berbicara dengan bintangku setelahnya.

"Ra," begitu aku biasa menyapanya. Orang rumahnya memang memanggilnya kejora atau Ara, dan keluargaku ikut-ikutan memanggilnya demikian. Karena itu panggilan kesayangan , maka aku memanggilnya juga dengan panggilan tersebut.
"APA?" Dia masih seperti dulu. Galak bin judes.
"Mmm.... Lagi apa? Dah makan?"
"Iiih, apaan sih, lo? Basa-basi banget. To the point aja deh!" Jawabnya dengan nada jijik.
"Hehe.... Ini, Ra,"
"He! Nggak usah sok akrab begitu. Panggil gue Bintang."
"Iyaaa, Bintangku."
"Iyuuuh, sejak kapan nama gue berubah jadi 'bintangkuuu'?!"
...
"Cepetan ngomong pasak Bumi, gue matiin, nih."
"Bentar, gue mules."
"Kalau mau boker, ngapain lo, nelepon gue. Telepon kloset sana!"
Duuuh, dia nggak tahu aja aku mules karena nervous, bukan mau boker.
"Jadi gini, aku cuman mau bilang...."
"Halah, lama."
Tut Tut Tut. Telepon dimatikan. Untung sayang, kalau nggak, udah kupites kamu.
Mari kita coba lagi.
"Mau lo, apa sih? Gue hitung sampai 3, kalau lo nggak ngomong, gue matiin teleponnya, dan nggak akan gue angkat lagi. Satu.... Dua.... Ti"
"Iya iya iya. Bawel! Jadi begini Bintang Kejora yang bersinar terang, aku mau bilang, kalau aku tuh, suka sama kamu dari lama. Dari kita masih kecil. Dari kita masih main-main tanah, mandi-mandi di sungai...."
Belum selesai ngomong, sudah dipotong.
"Gue tau kali. Lo kira mata gue picek. Lo 'kan dari dulu ngempetin gue muluh. Keliatan banget. Modus."
Ya, ampun. Aku kira dia akan kaget. Ternyata biasa aja responnya.
"Hahaha. Jadi kamu udah tahu. Ih, pinter banget, sih. Terus gimana?" Aku tertawa sumbang demi menutupi malu.
"Gimana apanya? Ya udah. Terserah Lo. Mau suka kek, nggak kek, itu hak Lo. Gue nggak bisa larang."
"Bukan itu maksud aku, Bintaaang. Kamu gimana ke aku? Aku tuh serius sama kamu. Aku pengen jadiin kamu istriku, ibu dari anak-anakku, nenek dari cucuku, Tante dari ponakanku. Yaa, pokoknya begitulah."
"Bumi, cinta itu tidak harus memiliki. Lo pasti bisa dapat perempuan yang lebih baik dari gue. Ketika kita mencintai seseorang, kemudian cinta kita tak berbalas, bukan berarti, dunia kiamat 'kan?! Kita jadi teman aja, ya?!"
Ya Allah, apakah semua perempuan kalau nolak alasannya begini? Kok hampir sama semua. Kenapa nggak bilang jujur aja "kamu tuh jelek, miskin, hidup lagi. Nggak cocok sama aku".
Huhu. Betapa hidup ini tak adil.
Sejauh apa pun Bintang dan Bumi, apakah tidak bisa dipaksa supaya menyatu?

Setelah kelulusannya dari universitas, dia dilamar oleh seorang dosen muda. Aku berdo'a, semoga dosen tersebut sama tidak beruntungnya denganku.
Dan jawabannya ada disebelah rumahku. Pesta besar digelar. Dan duduklah Bintangku yang bersinar terang dipelaminan dengan lelaki beruntung disampingnya.
Aku patah hati. Tapi aku tidak membencinya. Aku tetap sayang padanya sebagai teman masa kecilku.

Siapakah perempuan beruntung selanjutnya setelah Bintang, yang akan dicintai oleh Bumi Persada?

Nantikan selanjutnya.

END.
***
#CERPEN #LUCU #DAGELAN #BUCIN


Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)