Lelaki Pertama_Cerpen



"Mau nikah, Yas?"
Aku tertawa mendengar pertanyaan Sofi, salah satu teman dekatku di kampus.
"Ya iyalah, Sof. Siapa yang nggak mau nikah."
Sofi ikut tertawa.
"Aku serius, Yas. Kak Rafli punya teman, katanya lagi cari calon."
Kak Rafli adalah suami dari Sofi. Mereka baru saja melangsungkan pernikahan 3 bukan yang lalu. Kami semua satu almamater.
"Temannya kak Rafli yang mana? Aku kenal?"
Aku mulai penasaran.
"Maybe. Soalnya dia lumayan famous dikalangan kita." Maksud Sofi dikalangan anak-anak Lembaga Dakwah Kampus atau yang biasa disingkat LDK.
"Dia anak LDK juga? Siapa, sih?"
Kekepoanku meningkat drastis.
"Cieee, penasaran...."
Kupukul lengannya yang tertawa puas melihatku yang mulai tertarik dengan hal ini. Sofi meringis.
"Aku serius tau."
"Yeeeh, aku juga serius kali. Masa nawarin ginian main-main"
"Iya. Siapa namanya?"
Sofi akhirnya menyebut nama itu. Nama yang kerapkali jadi perbincangan dikalangan kami. Meski kami tidak seangkatan, namun kiprahnya selama menjadi anggota LDK masih melekat dari mulut ke mulut para juniornya.
"Kamu nggak ngerjain aku 'kan, Sof?"
"Ya nggaklah. Aku serius pake banget. Dia itu 'kan sudah matang, sudah pantaslah nyari istri. Dan aku fikir hanya dua orang yang cocok sama dia di LDK. Kak Riri dan kamu. Berhubung aku dekatnya sama kamu, jadi aku nawarin ini ke kamu. lagi pula aku dengar-dengar dari kabar angin yang berhembus, kak Riri lagi dalam proses ta'aruf dengan yang lain. Kalian itu cocok. Sama-sama militan. Sama-sama cerdas. Dan sama-sama pernah jadi ketua di LDK. Klop pokoknya." Sofi tersenyum kegirangan.
"Aku kok, kayak mimpi ya, Sof. Beliau itu terlalu sempurna menurut aku."
"Ish, kamu nggak usah merendah begitu. Dicoba aja dulu. Siapa jodoh. Mau, ya? Ya ya ya?"
Aku menghela nafas. Dengan banyaknya problematika di hidupku sekarang, sepertinya aku memang sudah butuh pendamping.
"Iya, deh."
Sofi memelukku penuh rasa gembira. "Semoga dimudahkan, ya dear". Ujarnya haru.
***
Namanya Arif. Kami biasa menyematkan kak didepan namanya sebagai bentuk hormat junior kepada seniornya. 3 tahun diatasku. Beliau lulusan fakultas kedokteran dan sudah menyelesaikan Koas 2 tahun yang lalu. Cerdas, Sholih, speaking public yang baik, semangat dalam berdakwah, adalah karakter yang sudah melekat padanya. Beberapa tulisannya tersebar di website dan sosial media. Aktif dalam kegiatan sosial dan lingkungan hidup, serta kelebihan-kelebihan lainnya. Aku dan dia sangat jauh. Terlalu berlebihan jika aku bermimpi proses ini akan sampai ke jenjang pernikahan.
***
Sepekan kemudian. Sofi mampir ke kos-anku untuk menyampaikan perihal kelanjutan prosesku dengan kak Arif.
"Yas, kamu harus dengar ini."
Sofi begitu antusias. Ia meraih tanganku untuk duduk di hadapannya. Melihat raut wajahnya, sepertinya ada kabar baik.
"Kak Rafli sudah sampaikan tentang kamu ke kak Arif. Biodatamu sudah beliau baca. Alhamdulillah. Dan...."
Sofi memotong kalimatnya. Sengaja membuatku kesal.
"Dan apa, Sof?"
"Dan dia bersedia dipertemukan sama kamu!"
Aku nggak tau harus merespon apa atas kabar ini. Disatu sisi aku senang karena kak Arif menyetujui. Tapi disisi lain aku takut terlalu berharap. Meski pun jujur kuakui sekarang memang aku sudah berharap lebih.
"Tapi ada kabar buruknya. Beliau sedang sibuk. Jadi, belum bisa dalam waktu dekat ini."
Harapanku langsung terhempas. Beberapa hari lagi aku akan meninggalkan kota ini. Jadi, aku harus bagaimana?
***
Bus melaju pergi. Meninggalkan banyak kenangan di belakang sana. Ragaku boleh beranjak, tapi tidak fikiranku. Dia masih tertinggal disana dengan segala kecamuk tentang seseorang. Hatiku berdebar, jika mengingat nama itu. Nama yang mulai kusemai dalam do'a. Secepat itukah aku jatuh hati?
***
Beberapa hari sebelum ramadhan.
"Ada kabar dari kak Arif, Yas." Pesan singkat Sofi masuk ke HPku.
Kulanjutkan membaca pesan itu.
"Dia minta maaf. Belum bisa memberi kepastian mengenai proses kalian. Entah kenapa dia jadi minder. Katanya kamu terlalu sempurna sebagai muslimah. Sedangkan dia biasa-biasa saja."
Mungkin dia melihat tulisan dan postingan-postinganku di sosial media. Karena beberapa waktu lalu, aku meminta pertemanan padanya dan dia mengkonfirmasi. Padahal aku tidak sebaik apa yang aku tulis.
Pesan Sofi kembali masuk.
"Dia mengajukan syarat untuk kamu, Yas. Pertama kamu siap nggak, ikut sama dia nantinya kalau dia ditugaskan di daerah-daerah terpencil? Yang kedua kamu siap membuka penutup wajahmu jika suatu saat tinggal di daerah minoritas muslim?"

Syarat apakah ini? Yang pertama tak ada masalah. Namun, syarat yang kedua sungguh menggangguku. Aku dilema.
"Aku istikharah dulu, Sof. Nanti aku kabari lagi, insya Allah."
***
Akhirnya aku menyanggupi syarat tersebut. Dengan segala konsekuensi yang harus kuterima. Sungguh, melawan arus perasaan itu tak mudah. Dan jatuh cinta sebelum pernikahan adalah ujian berat.

Waktu bergulir. Membawa perasaanku semakin mendalam. Aku sudah cukup bahagia, meski hanya dapat like di status sosial media. Apalagi ketika itu, sebuah puisi yang bertemakan rindu muncul di timeline ku sebagai kenangan setahun lalu. Tak menunggu lama, karena merasa puisi tersebut mewakili perasaanku saat itu, maka aku membagikannya kembali. Dan dia adalah orang pertama yang me-like.
Sungguh benar kata salah seorang penulis novel terkenal bahwa "Orang yang memendam perasaan seringkali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta." Dan itulah yang kualami.
Harapanku makin meninggi.
***
Hari ke- 10 ramadhan
"Yas, kak Arif meminta maaf, belum bisa memberi kepastian akan kelanjutan proses kalian. Dia minta diberi waktu untuk membicarakannya dengan keluarganya. Katanya insya Allah ba'da ramadhan dia akan memberi kabar."

"Iya, Sof. Aku akan menunggu."

Mengharapkan sesuatu yang tidak pasti sangat menjenuhkan. Setiap malam aku memandang langit di beranda rumah. Duduk termenung memikirkan segala kemungkinan yang terjadi kedepannya. Puisi, prosa, dan cerita mengalir deras dibuku catatan ku. Salah satu nikmatnya jatuh cinta sekaligus patah hati bagi penulis adalah melahirkan karya yang penuh rasa.
Hari berjalan lamban. Rasanya aku menunggu setahun untuk sebuah kepastian. Resah, cemas, dan jenuh tentu saja. Andai waktu bisa kulipat.
***
Sudah tak ada kabar dari Sofi. Sosial medianya tidak aktif. Pesan-pesanku tak berbalas. Padahal aku butuh teman bercerita dalam keadaan begini. Apalagi dia satu-satunya temanku yang mengetahui perihal kak Arif.
Ramadhan berlalu. Namun, kabar yang kutunggu tak juga datang. Aku harus bagaimana? Haruskah kuhubungi langsung kak Arif dengan menekan rasa Maluku? Apa yang harus kukatakan padanya? Fikiranku benar-benar penuh.
***
Ba'da tahajjud, usai memohon pertolongan pada sang Pemilik Hati, kuketik beberapa kalimat, lalu membacanya berulang-ulang agar tak ada kata yang menyinggung atau justru merendahkan harga diriku sebagai seorang muslimah. Setelah yakin, kukirim pesan tersebut lewat pesan pribadi salah satu sosial media. Hingga pagi menjelang, pesan tersebut belum berbalas. Padahal sudah ada tanda kalau pesan itu sudah dibaca. Aku bagai menunggu sidang putusan atas diriku sebagai dakwaan. Ketar-ketir dan gelisah.
Aku berprasangka baik. Mungkin kak Arif lagi sibuk di rumah sakit. Aku harus tahu diri.
Beberapa jam kemudian. Sebuah pesan masuk. Sungguh, aku takut membukanya sekaligus penasaran. Jari jemariku mulai basah. Jangan ditanya mengenai jantungku. Sedari tadi sudah memompa cepat. Bertalu-talu dan begitu ribut.
Bismillah. Akhirnya kuberanikan diri. Kata perkata tak ingin kulewatkan. Barisan panjang kalimat itu menandakan sang penulis begitu menghargai ku sebagai seorang muslimah, tidak justru merendahkanku karena berani mengirimkannya pesan. Aku terharu. Meski semakin kebawah tulisan itu tak ada yang menandakan bahwa proses kami berlanjut, setidaknya aku merasa lega. Dia orang yang baik. Dia berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dariku.
Alasannya untuk tak melanjutkan proses kami karena harus melanjutkan residen keluar negeri (dia mendapatkan beasiswa), bisa kuterima dengan lapang dada.
Takdir itu tak akan pernah salah alamat. Allah sudah tetapkan bahwa Yasmin dan Arif bukanlah dua orang yang harus bersama. Sekedar cerita yang lewat untuk dijadikan pelajaran bagi keduanya.

Cerita tentangnya tak bisa kulupa. Karena dialah lelaki pertama yang membersamaiku dalam proses ta'aruf selama aku berhijrah. Dia kini telah memiliki bidadari, bahkan mungkin malaikat kecil. Kisah ini kututurkan sekadar kenangan, bahwa ada orang sebaik dia yang pernah ada di hatiku.
***
"Tetaplah seperti biasa. Tetaplah sederhana dalam hidup dan berfikir, kalau pada akhirnya harus bertemu, pasti akan bertemu. Bukankah pada akhirnya setiap kita hanya akan dimintai pertanggungjawaban terhadap pilihan kita masing-masing? Maka selamat menikmati kemerdekaan memilih. Terima kasih telah pernah memilih saya."

Akhir pesan yang menutup kisah kami.
End.
***

Saya nggak tau mau komentar apa di cerpen kali ini. Saya seperti mendengar detakan jantung Yasmin disini. Atau membayangkan rona wajahnya yang memerah karena mendengar nama kak Arif.
Kalau kalian, apa yang kalian rasakan setelah membaca ini?

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)