Keputusan Hati_Cerpen



Hari ini aku akan mengambil keputusan besar dalam hidupku. Yang menentukan nasibku di masa depan. Tentang sebuah pilihan. 
Apakah memang hidup ini hanya seputar memilih dan memilih? Ataukah hanya soal tiada pilihan lain untuk memilih? Kalian bingung? Hidupku memang rumit. 

"Dek, rombongan sudah sampai."
Aku tersentak dari lamunanku. Suara kakak lelakiku bagaikan sebuah berita besar yang melemaskan otot-otot tubuhku.
Hingar-bingar suara di ruang tamu semakin menambah pacu detak jantungku. Ya, aku harus menentukannya hari ini. Bukan perkara mudah. Karena ini adalah pilihan untuk seumur hidup.

Sebelum kumelangkah ke ruang tamu, dengan jawaban "ya" atau "tidak", mari kukisahkan tentang seseorang yang masih memiliki hatiku saat ini.

Singkatnya, Kami bertemu dalam sebuah komunitas sosial dan pendidikan, lalu akhirnya menjadi teman dekat. Dia sudah seperti kakak Lelakiku. Tempat curhat persoalan hati, berbagi cerita, mengerjakan tugas kuliah, kumintai bantuan ini dan itu, kurepotkan dengan berbagai hal. Yang intinya dia adalah orang yang membuatku nyaman dan selalu ada buatku.

Aku juga tidak tahu kapan tepatnya, rasa itu tumbuh di hatiku. Mungkin karena keterbiasaan kami selalu bersama-sama, serta frekuensi pertemuan yang hampir setiap hari.

Suatu hari, dia membuatku terkejut dengan pengakuannya. Itu terjadi di tahun kedua perkenalan kami. 3 tahun silam. Meski sudah kuduga, tentang hal serius yang ingin dia katakan.
Dia menyukaiku, katanya. Namun, sebatas itu perbincangan kami. Karena setelahnya tak ada hubungan yang jelas diantara kami.

Tahun berlalu, dan kami berpisah. Dia harus pergi untuk sebuah urusan kerja yang cukup lama. Dan aku selalu menunggu kepulangannya.

Hubungan kami berlanjut via chat. Tak ada yang berubah dengan perasaanku, meski sudah cukup lama kami tidak bertatap muka. Justru semakin dalam saja, seiring harapan yang terus ia tumbuhkan dalam jiwaku.

Bagaimana rasanya menunggu ketidakpastian? Jika kalian tahu, mungkin akan melambaikan tangan ke kamera. Tapi aku tak ingin menyerah. Perasaan harusnya di perjuangan, bukan?!

Apakah sebatas jarak yang menjadi masalah kami? Tidak. Masalah lain terus bermunculan.
Ayahku tidak menyetujui hubungan kami, karena persoalan pekerjaan dia sebagai seorang pelaut. Dalam sudut pandang Ayahku, pekerjaan tersebut tidak baik untukku. Aku akan sering ditinggal dalam waktu yang lama. Alasan yang bisa diterima oleh akal, tapi tidak hatiku. Aku tetap ingin dia.

"Bagaimana hubungan kita?" Kuberanikan diri bertanya.
"Aku belum tahu. Banyak hal yang harus kuselesaikan dulu." Jawabnya.
"Sampai kapan?" Cecarku.
"Aku tidak tahu pasti." Balasnya.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Dan setelahnya, percakapan hanya berisi tentang pertanyaan seriusku yang ditanggapi dengan lelucon garing olehnya. Sungguh ingin kuteriak dibalik telepon kalau hubungan ini bukan hal yang lucu.

Lain waktu, aku bertanya bagaimana jika ada yang datang melamarku? Kalian tahu apa jawabannya? Dia menyuruhku menunggunya. Hah. Dan harapanku tak juga pupus. Meski seiring bergantinya hari, harapan itu terkikis sedikit demi sedikit.

"Ibuku kurang berkenan denganmu". Begitu bahasa tersiratnya ketika dia menghubungiku kemudian. Dan hatiku hancur berkeping. Aku harus bagaimana dihadapan Ibunya? Menampilkan kebohongan? Memakai topeng? Ini aku. Jika dia tidak menyukaiku, apakah aku harus menjadi orang lain agar dia berubah fikiran? 

Tak ada yang bisa kulakukan lagi, untuk menyembuhkan hatiku. Aku memutuskan komunikasi dengannya.
***
"Na, yuk, kedepan! Mereka mau melihatmu langsung. Kasihan, jauh-jauh kesini, kalau cuman harus lihat Ibu." Ibu menarik tanganku berdiri. Beliau terlihat begitu bahagia hari ini.

Kusengaja mengambil langkah pelan agar tak segera sampai ditujuan. Namun, jarak antara kamarku dan ruang tamu hanya berbatas dinding.

Aku duduk di disamping Ayah. Dan Ibu menyusul di sisiku. Kini aku diapit oleh dua orang yang begitu kusayangi dan kuhormati, yang tidak mungkin aku lukai hatinya, atau kupermalukan didepan banyak orang. Sementara didepanku, beberapa orang yang tidak ingin kulihat. Tepatnya tak sanggup. Karena leherku terasa kaku untuk sekedar mendongak melihat wajah-wajah mereka.

"Masya Allah, aslinya lebih cantik."

"Oh, ini yang namanya Raina."

"Wah, Calon mantuku manis sekali."

Seruan-seruan itu terasa berdenging ditelingaku.
Lalu, 
"Jadi, bagaimana Raina?"
Sebuah pertanyaan yang mengakhiri semuanya.
***
Dia akan pulang dalam waktu dekat ini. Begitu informasi yang kudapat. Pulang? Untuk apa? Berbagai spekulasi bermunculan di otakku. Jujur, ada kebahagiaan muncul dihatiku. Tapi disisi lain, akalku mengingatkan, jangan terlalu tinggi berharap, nanti kau terhempas jauh lagi.

Akhirnya dia datang. Segala perasaanku meluap, ketika melihatnya  kembali. Jika aku punya kendali perasaan, aku akan membantingnya, memutar balik, hingga tak lagi menjatuhkan hati pada orang tidak tepat.  Tapi, tidak. Aku tidak punya kendali tersebut. Bolehkah kumenangisi diriku? Yang lemah, yang kalah oleh sesuatu yang  tak nampak, bernama perasaan.

Dan kedatangannya menjawab semuanya. Dia menemui kakakku. Berbicara cukup lama. Aku -lagi-lagi- hanya bisa menunggu. Menunggu perbincangan tersebut selesai. Selesai menghancurkan hatiku tak bersisa.
***
Aku mendongak, memindai wajah-wajah dihadapanku. Wajah seorang wanita yang sebaya dengan Ibuku, tersenyum ramah, penuh keibuan, memancarkan kebaikan dan ketulusan. Dua orang lelaki yang seumuran Ayahku. Juga tersenyum ramah. Dan terakhir, tepat berada dihadapanku. Yang memacu detak jantungku, memompa darahku lebih cepat hingga membuat wajahku terasa hangat. Dia tersenyum kecil, lalu menunduk. Wajah yang terasa menghentikan duniaku sejenak. Membuatku lupa perasaan lain yang tadi menginginkanku lari saja dari pertemuan ini.
***
"Maaf, kak. Aku sangat mencintainya. Aku ingin segera menjadikannya istriku, tapi keadaan sungguh tak berpihak. Aku anak lelaki satu-satunya yang diharapakan dalam keluarga. Aku ingin membahagiakan Ibuku, dan adik-adikku dahulu. Aku sangat meminta maaf, kak. Semoga tahun ini saya bisa menyelesaikan semua tanggung jawab saya. Dan tahun depan saya dan Raina bisa mengambil langkah." Itulah amunisi yang dia keluarkan dihadapan kakakku.

Alasan macam apa itu. Seakan-akan dia takkan mampu membahagiakan keluarganya ketika dia menikahiku. Tahun depan? Dia ingin aku menunggunya lagi dan lagi? Rabbiy....!

"Ya, saya bisa mengerti. Dan kau yang mengambil keputusan. Raina hanya seorang perempuan. Dia cuma bisa menunggu."
Tidak. Aku takkan senaif dan sebodoh itu.
***
Suasana hening. Semua menanti jawabanku
Akhirnya, aku mengangguk. Sebagai tanda persetujuan.

"Alhamdulillaah!" Ucapan syukur bergema di langit-langit. 

Aku telah mengambil keputusan detik ini. Berhenti untuk menunggunya, meski aku masih mencintainya. Aku memilih pilihan yang ada dihadapanku, karena yang menentukan kebahagiaanku bukan soal cintaku pada lelaki yang belum mengucapkan ijab kabul dihadapan Ayahku. Namun, kebahagiaan itu kusandarkan pada-Nya yang memilihkan takdirku, untuk bertemu seseorang yang akan kucintai setelah pernikahan. Bi'idznillah.

End.

.
.
.

Hay, kembali lagi dengan fiksi yang belum mampu kulupakan. Kisah ini inspirasi dari seseorang. Beliau meminta untuk dituliskan kembali. Meski dengan banyak bumbu micin dari saya. Hehe. 
Kisah yang mengajarkan kepada kita ,untuk tak menunggu sesuatu yang belum pasti datangnya. *Eeah
Selamat membaca!

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)