Sebuah Surat #2


7 Januari 2017

Assalamu 'alaikum, Nay...!
Bagaimana kabarmu? Kapan kau kembali lagi ke desa? Nenekmu masih kerap bercerita tentangmu jika aku dan mama berkunjung ke rumahnya. Kata beliau "Nay sudah besar. Makin ayu. Sudah mau sarjana untuk kedua kalinya." Katanya lagi "nenek rindu sekali dengannya. Tapi tidak bisa juga berharap banyak dia bisa kesini. Dia sibuk sekali dengan sekolah dan bisnisnya." Aku dan Mama juga demikian, Nay. Sudah rindu ingin bertemu. Namun, sepertinya waktu belum berpihak. Aku juga jarang pulang. Seringnya nginap di hutan menangani proyek. Berharap ketika masa libur tiba, aku bisa pulang dan kau pun demikian. Kalau pun tidak, kalau kau mau, aku bisa datang menemuimu di kota, jika kau tak keberatan.
Maaf, ya, aku jarang sekali menelfonmu. Maklum saja, sinyal di tempat kerja tidak mendukung. Tidak beda jauh jika kembali ke desa. Aku lebih suka mengirimkan surat seperti ini. Mengenang masa kecil kita yang main surat-suratan. Saat dunia kita yang polos dan lugu belum kenal telepon dan internet.

Nay, kabari aku segera jika kau bersedia kutemui. Karena ini bukan hanya persoalan rindu. Ada hal yang penting ingin aku sampaikan, yang rasanya tidak elok jika kutulis disini.

Salam rindu,
KAI


Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Tentang Buku "Berdamai dengan Takdir"