Mental Judgement (Sebuah Opini)



Entah sejak kapan kata ini begitu dekat dengan warga negara berflower ini. Sadar atau tidak sadar, kerap kita menjadi orang-orang yang mengadili seseorang secara sepihak tanpa mencari tahu alasan atau sebab mengapa dan kenapa hal itu bisa terjadi. 
Saya pun pernah melakukan ini. Dan saya sangat menyesal karena telah memelihara pikiran negatif tersebut dalam otak saya. 
Ceritanya, saya memiliki 10 murid dengan berbagai karakter dan kepribadian yang berbeda. Ada yang cepat tanggap, ada yang lemot, ada yang harus di dorong sedemikian rupa agar mau belajar, ada yang berinisiatif sendiri, dll. Nah, salah seorang murid perempuan  saya, subhanallah, setiap saya ajari membaca selalu lupa. Saya ajari hari ini, besok lupa. Begitu seterusnya hingga saya lelah sendiri dan membiarkan hal tersebut berlangsung selama satu semester. Saya tahu penyebab utamanya, dia tidak mengulang apa yang diajarkan di sekolah di rumahnya. Sudah pernah saya memberi catatan khusus untuk orangtuanya agar anak tersebut dibantu belajar di rumah. Karena kerja sama orangtua sangat membantu tugas kami sebagai guru di sekolah. Namun, tidak ada perubahan. Bahkan semakin menurun.
Dalam otak saya sudah tertanam, ini anak memang malas belajar atau orangtuanya tidak memperhatikan dan membantunya mengulang pelajaran di rumah. 
Hingga suatu hari, saya dapat kabar kalau Ibu dari murid saya tersebut ternyata sakit keras. Beliau terkena kanker. Akhirnya, saya dan beberapa guru lain membesuknya di rumah. 
Yang membuat saya begitu sedih, ketika sang Ibu yang tubuhnya sudah menyusut itu berkata "dibantu anak saya, ya ustadzah. Karena selama sakit, saya tidak lagi memperhatikan pelajaran-pelajarannya". Hati saya ngilu mendengarnya. Betapa jahatnya saya. Betapa buruknya sifat judgment tersebut. Murid saya tersebut ternyata tidak belajar di rumah bukan karena malas, atau karena orangtuanya tidak mau memperhatikannya. Melainkan karena Ibunya lagi sakit keras, susah bangun dari tempat tidur, dan keluarganya sibuk mengurusi si Ibu yang lagi sakit. Astaghfirullah wa atubu 'ilaih.

Dan tentu bukan hanya saya saja yang sering melakukan ini. Banyak orang di luar sana, sadar atau tanpa sadar telah menyakiti sebagian orang yang telah mereka adili secara sepihak. Apalagi di media sosial, yang begitu mudah orang mengetikkan kata-kata. Lalu membagikannya kebanyak orang.
Barusan saya melihat-lihat story WA teman-teman saya. Dan salah satunya termasuk apa yang saya bahas di atas. Dia katakan bahwa : tidak seharusnya akhwat itu melepaskan hijab dan berdandan di hadapan banyak lelaki pada hari pernikahannya. Memanglah itu hanya sehari, tapi apakah mereka rela, hijab yang mereka pakai selama ini tergadaikan dalam waktu sehari saja. 
Saya setuju dengan perkataan teman tersebut. Sangat setuju malah. Sebagai muslimah, saya tentu paham bahwa hijab adalah hal yang tak bisa ditawar oleh apa pun. Tak bisa digadai meski alasannya adalah pernikahan. Tetapi, duhai... Kita tidak tahu berbagai macam problem yang menimpa orang-orang diluar sana. Kita tak bisa memakaikan baju kita untuk semua orang. Karena tentu saja, , yang tak seukuran dengan badan kita. Mari kita tengok sisi lain dari perkara ini. Bisa jadi, yang tidak memakai hijab syar'i (tentu inilah yang dimaksud oleh teman saya di story nya tersebut. Bukan dalam artian melepaskan penutup kepala. Tetapi menggantinya dg yg tidak syar'i, seperti lebih pendek dari biasanya dan berhias) pada hari pernikahan sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memahamkan keluarganya. Namun, siapa yang memberi hidayah dan Taufik kepada manusia? Bukan kita, tapi Allah. Sekeras apa pun kita dakwahkan ini itu, semua kembali kepada sang Pemilik Hati. 
Saya mengerti sekali hal ini. Karena salah seorang teman saya pun pernah mengalami kejadian serupa. Beliau wanita yang bercadar dalam kesehariannya. Namun, di hari pernikahannya tidak ada keluarganya yang setuju jika dia memakai penutup wajah, pun hijab  pemisah antara tamu laki-laki dan perempuan. Beliau sudah berikhtiar sesuai kemampuannya untuk mendakwahkan, qadarullah tidak ada keluarganya yang menerima. Dengan sangat terpaksa di satu hari itu, dia membuka wajah dihadapan banyak orang. 

Saya ingin menasihatkan kepada diri saya dan juga kepada kalian, janganlah memandang sesuatu hanya pada satu sisi saja. Bukan tugas kita mengadili seseorang, kita hanya diperintahkan untuk menasihatkan dengan cara yang baik. Dengan penuh hikmah. Bukan dengan judgment. Paham ya, sampai sini. Hehe. 
Setelah ini saya berharap mental buruk itu hilang dalam diri kita. Yuuk kita menjadi pribadi yang berpikir positif dan menularkan kebaikan itu pada lingkungan sekitar. 
.
.
.
📷 https://pin.it/asgq436b7y6y6h




Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)