Journey of Love (cuplikan Novelet)


ini cuplikan dari novelet dari Journey of Love, yang saya tulis setahun silam. Sengaja ngambil part bagian enam ini, karena rasanya ngefeel banget -buat saya-. oh ya, beberapa materi di dalamnya diambil dari artikel muslim.or.id. itu melanggar hak cipta gak, ya. soalnya belum pernah izin. Sorry.
Btw, nama tokoh Lelakinya Afif lagi. haha. kenapa? suka aja. anggaplah ini Afif di (Bukan) Takdirku yang kesasar setelah sudah tak bersama Rania. wkwk.
maaf, ngepost fiksi lagi. saya belum benar-benar bisa istiqomah untuk ninggalin ini. hiks.
Okey, jadi ini cerita yang settingannya di Kota kecil di pulau Kalimantan. Awalnya, dua tokoh utamanya, Najmi dan Afif, bertemu tanpa sengaja. Karena mereka berdua adalah korban patah hati, akhirnya, takdir bersepakat menyatukannya. Ceileh. Haha. Spik-spiknya begitu saja. Kalau banyak pembacanya, nanti ta' post dari part awal. Cekidot.
 
6. CINTAKU UNTUK SIAPA?     
Pengajian  di masjid Abdullah sudah dimulai. Namun, pertemuan  perdana  ini aku   terlambat datang. Masjid sudah ramai dipenuhi para  karyawati  Abdi group dan  Ibu-ibu yang tinggal di sekitar jl cendrawasih. Aku mengambil tempat  duduk di pojok belakang. Aku menunduk dalam-dalam  dan berusaha  fokus mendengarkan sambil  memegang pulpen dan catatan.
“Ibu-ibu  dan  para akhawat, yang semoga  dirahmati Allah..
Sebagaimana dikatakan kami katakan tadi bahwa cinta adalah ruh dari amalan, maka cinta adalah suatu yang alami ada dalam diri. Namun, jangan sampai ketika kita mencintai sesuatu selain Allah, itu merusak cinta kita kepada Allah, dengan bermaksiat dalam cinta kita.
Jangan sampai ketika mencinta, kita berbuat syirik. Seperti cintanya sebagian orang kepada selain Allah disertai perendahan diri di hadapan yang dicintainya juga pengagungan serta ketaatan kepadanya. Karena cinta jenis ini adalah cinta ibadah yang hanya diserahkan kepada Allah semata.
Jangan sampai ketika mencinta, kita berbuat bid’ah. Seperti cinta kepada para Nabi dan orang shalih sampai berlebihan dengan membuat-buat ritual baru dalam agama yang tidak ada tuntunannya. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, artinyaBarangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718).
Jangan sampai ketika mencinta, kita berbuat maksiat. Seperti dalam mencintai orang tua kita memenuhi permintaan mereka yang melanggar agama. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinyatidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf (baik)” (HR. Al Bukhari 7257, Muslim 1840).
Juga seperti seorang lelaki yang mencintai seorang wanita namun mencurahkan cintanya dalam pacaran, bukan pernikahan yang membuat mereka menjadi halal. Padahal pacaran adalah maksiat kepada Allah. Pacaran juga selangkah menuju zina yang hakiki, dan bahkan pacaran sendiri adalah zina. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
 sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya” (HR. Al Bukhari 6243).
Ibnu Bathal menjelaskan: “zina mata, yaitu melihat yang tidak berhak dilihat lebih dari pandangan pertama dalam rangka bernikmat-nikmat dan dengan syahwat, demikian juga zina lisan adalah berlezat-lezat dalam perkataan yang tidak halal untuk diucapkan, zina nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan. Semua ini disebut zina karena merupakan hal-hal yang mengantarkan pada zina dengan kemaluan” (Syarh Shahih Al Bukhari, 9/23).
Maka, jangan sampai ketika kita mencintai sesuatu selain Allah, itu merusak cinta kita kepada Allah, dengan bermaksiat dalam cinta kita.
Semoga kita menjadi hamba-hamba yang menempatkan cinta sesuai dengan  kodratnya. Tidak  mengotorinya  dengan  hal-hal  yang  dibenci oleh-Nya.  Demikianlah. Kita   tutup   majelisnya,   subhanakallahumma wabihamdika wa asyhadu alla ilaha anta  astaghfiruka  wa  atubu  ‘ilaik. Kita   masuk disesi  tanya jawab.
            Mataku  kembali basah. Hatiku  sesak mengingat dosa-dosaku. Aku  hampir   batal mengikuti pengajian hari ini gara-gara seseorang mengirimkanku pesan beruntun lewat sms. Tertulis disana bahwa ia tak jadi menikah dengan wanita pilihan Ibunya. Calonnya tersebut kabur karena tidak mau dijodohkan. Dan ia meminta maaf atas segala kekhilafannya dan memintaku untuk kembali. Diakhir  pesan dicantumkan nama pengirim : Irham Aditya.
Keadaanku begitu kacau setelahnya. Aku menangis begitu lama sampai lupa jadwal pengajian hari ini. Dan aku baru tiba di masjid Abdullah 20 menit sebelum kajian ditutup. Pertanyaan para peserta tidak kusimak dengan baik sampai akhirnya kajian berakhir, fikiranku terbang jauh. Aku menunggu sampai orang-orang semua keluar. Baru kemudian ikut melangkah keluar dari masjid.
            Tiba diparkiran masjid, ternyata ada Diana yang menungguku. Aku pura-pura tak melihatnya. Kuhampiri scoopyku. Namun sebelum naik diatas motor, Diana sudah ada disampingku.
“Hei, beb. Aku kira kau tak datang. Aku menunggumu dari tadi. Tengok kiri tengok kanan, tapi tak tampak batang hidungmu.” Serunya sambil menyerocos seperti biasa.
aku hanya menoleh sekilas dan tersenyum tipis kembali fokus ke kendaraan disampingku, lalu mulai memutar kuncinya. Belum sempat kunyalakan, Diana sudah menyergapku.
Rupanya dia menangkap ketidak beresan padaku. Pasti ia sudah melihat wajahku yang sembab dan mataku yang membengkak. Ia memegang lenganku dengan lembut.
“are you okey?” tanyanya hati-hati.
“yeah. I’m fine, beb.”
Ia tak percaya dengan jawabanku yang tidak sejalan dengan nada suaraku yang pilu.
“ada apa,sih?” tanyanya sedikit keras.
Aku menatap wajah Diana dengan perasaan seperti tadi pagi ketika baru membaca pesan dari Irham. Aku tak tahan untuk tak memeluk Diana. Teman yang beberapa bulan ini menemaniku dan menghiburku. Aku tersedu-sedu dipelukannya.
“beb, Ir..ham tak jadi me.. meni..kah.” ujarku dengan suara terbata-bata disela isak tangis.
Diana mendorong pelan tubuhku dan memegang kedua lenganku. Matanya menyorot tajam ke arahku.
“terus,kau mau kembali padanya? Beb, kamu itu benar-benar keterlaluan, ya. Setelah semua yang dilakukannya padamu, setelah ia meninggalkanmu, lalu tiba-tiba dia datang, kau mau kembali padanya begitu saja? Ha?” Diana benar-benar marah. Untunglah parkiran ini sudah sepi. Sisa kami berdua yang berdiri di samping masjid.
“Di, aku.. aku memang sangat membencinya. Tapi aku juga masih cinta sama dia.”
Aku melorot jatuh, tubuhku lemas, tapi Diana segera mencengkram lenganku. “terserah. Kau memang selalu tidak waras kalau mengenai Irham. Sini kuantar kau pulang. Kau harus ceritakan semua padaku di kosmu nanti.” Suaranya sudah tak senyaring tadi. Tapi masih dengan nada marah.
“aku bisa naik motor sendiri, Di. Kau bisa menyusulku dengan mobilmu.”
“No..no..no.. tidak bisa. Aku tidak mau melihatmu tergeletak di depan bersama motormu. Lalu besok masuk di koran dengan tajuk ‘seorang gadis mengalami kecelakaan akibat dihubungi mantan’.”
Aku tertawa getir. Ini anak masih sempatnya membuat lelucon garing seperti itu.
Tiba-tiba matanya mengerjap dan bibirnya menganga.
“aduuh, beb. Ustadz Afif ada disini, ngobrol serius kayaknya sama Pak Rahmat,"
Pak Rahmat adalah salahsatu security di Abdi Group. 
"jangan-jangan mereka melihat drama kita yang tadi. Duuh, malunya.Diana. eh, eh, ustadz Afif melihat kemari.” Diana belingsatan sendiri.
Kenapa pula ia yang malu. Seharusnya aku yang malu,bukan dia. Kan, aku yang sebagai pemeran utama menangis tak jelas di parkiran.
“kamu, tidak usah melihat kesana juga, Di. Nanti dikira kamu ngarep buat disamperin.” Baru selesai aku berbicara, Diana sudah menyergap perkataanku.
“beb, Pak Rahmat menuju kesini!” serunya dengan berbisik.
Celaka. Jangan sampai aku terlihat oleh Pak Rahmat dalam keadaan semengenaskan ini. nanti sampai pula gosip-gosip tidak enak di kantor. Aku merebut kunci mobil Diana yang sedari tadi digenggamnya. Aku bergegas menuju mobilnya dengan langkah gontai. Biarlah Diana yang menghadapi Pak Rahmat sendirian.
Aku masuk ke mobil Diana. Kusandarkan tubuhku dan kupejamkan mata. Kudengar samar-samar suara Diana berbicara.
“Oh, tidak apa-apa, Pak. Najmi kurang enak badan. Jadi saya mau mengantarnya pulang. Motornya ditinggal disini dulu, dijagain, ya, Pak” 
Terdengar pintu mobil disebelah kananku di buka. Diana masuk.
“Beb!” Diana berseru girang.
“ternyata ustadz Afif itu tampan sekali. Lebih tampan dari Tuan Fadhil. Iihh, jenggotnya bikin gemes.” Diana terkikik geli.
Kami  para peserta kajian  memang  tidak bertatapan langsung  dengan pemateri tadi. Ada hijab  pembatas untuk  menjaga pandangan.
“Sempat-sempatnya kamu ngelirik beliau. dasar genit.” Timpalku dengan mata masih terpejam. Aku mau tidur saja selama mungkin. Siapa tahu ketika terbangun, aku sudah berapa di planet lain. Yang disana tidak ada makhluk yang bernama Irham.
“motorku bagaimana?”
“tenang. Pak Rahmat siap mengamankan”
aku hanya ber-oh pendek.
“kau pasti belum makan, kan? Wajahmu pucat begitu. Kayak  orang sakit bertahun-tahun. Muka kusut, Sembab  pula.” Diana memang juara dalam menyindir.
Aku  hanya  menjawabnya dengan gumaman.
“eh,  beb. Ada warung makan  yang  baru buka di depan plaza. Lagi hitz di instagram. Katanya, sih, enak. Menunya sebenarnya biasa.  Nasi subut  dan  sate  ikan   pari. Tapi  yang spesial konon sambalnya. Mau tidak? Kau kan paling doyan sambal-sambalan.”
Aku tiba-tiba lapar  mendengar Diana menyebut sambal.
“boleh, Di. Kamu saja yang  turun beli, ya. Aku tunggu di mobilmu saja.”
“beres. Yang penting kamu yang bayarin.”
“iya, iya”
Diana bersorak senang.
***
Kami tiba  di kosku 20 menit  kemudian. Diana memberenggut kesal. Ia menyesal beli di   warung yang  ia maksud tadi. Ternyata antriannya panjang. Namanya juga makanan  viral. Pasti banyak peminatnya.
Nasi subut   dan sate ikan  pari  adalah salah  satu  makanan khas di kota ini. Nasi subut sendiri adalah nasi yang dicampur dengan ubi ungu dan jagung. Kami makan dengan lahap. Nasinya benar-benar  wangi. Satenya juga mantap. Sambalnya lumayan pedas. Karena Diana memesan level  3. Aku satu selera dengannya kalau soal yang pedas-pedas.
Aku  membereskan makanan di dapur. Dan  menghampiri Diana di kamarku yang sudah duluan  ngeloyor  kesana setelah makan. Aku mengansurkan permen  kearahnya  yang   nampak masih  kepedasan.
“thanks.” Ia   tersenyum   ceria  seperti  biasanya. Padahal  tadi di  parkiran telinganya sudah  berasap. Mulutnya menyemburkan api seperti naga.
“sudah tidak  sedih lagi  gara-gara makan  nasi subut?” ujarnya ketika melihatku tersenyum.
Aku tertawa. Ia  ikut tertawa.
“beb. Lihat dong pesan si kunyuk itu.”
Aku mengerti permintaannya. Kuambil  smartphoneku yang tergeletak diatas nakas. Lalu kuberikan  pada Diana.
“Halah. Sudah kepepet begitu baru dia  datang padamu. Laki-laki begini tidak boleh dikasih hati, beb.  Ngelunjak nanti,” Diana  menanggapi pesan dari Irham yang  baru dibacanya.
dia yang ditinggalkan calonnya, kenapa harus kamu yang menutupi malunya dan harga  diri  keluarganya,”
Aku hanya   memhembuskan  nafas  keras.
“biar saja dia malu. Dan si nyonya sombong itu menanggung resiko akibat keangkuhannya.”   Diana masih melanjutkan unek-uneknya.
“tidak boleh begitu, Di. Mereka juga  manusia. Bisa salah dan benar. Aku  belum memutuskan  apa-apa  saat ini. Biarlah hati dan fikiranku  tenang dulu.”
“kau masih mau mempertimbangkan tawarannya? Kalau aku jadi kau, sudah kutenggelamkan dia di dasar laut. Biar di makan sekalian sama ikan piranha.”
Aku tertawa melihat ekspresi Diana yang menggebu-gebu.
***
Malam harinya, aku berdiri termenung di balkon lantai dua. Aku memikirkan percakapanku dan Diana siang tadi.
Sungguh tak mudah mengambil keputusan. Aku memilih untuk menerima Irham, atau memilih untuk tidak memilihnya lagi, semua ada konsekuensi. Seperti sebuah kalimat yang pernah kubaca bahwa pada awalnya, semua orang bangga pada pilihannya.  Tapi  pada akhirnya, tidak semua orang setia pada pilihannya. Saat ia sadar bahwa yang dipilih, tidak sepenuhnya seperti apa yang diimpikan. Karena yang tersulit dalam hidup, bukanlah  memilih. Tapi bertahan pada pilihan.
Kufikir Irham memang  tak pernah memilihku. Aku hanya tempatnya untuk singgah.  Bukanlah sebuah rumah yang ingin dia huni. Dia  datang padaku -akhirnya- sesuai dengan  keinginanku,  juga bukan  pilihannya. Tapi pilihan  egonya,untuk menutupi harga  dirinya.  Pantaskah  laki-laki  seperti itu kutunggu  selama ini? Benarkah   kata Diana bahwa aku tak perlu berfikir lagi atas tawaran  tersebut?
            Mungkin selama ini aku menempatkan  rasa cinta  itu berlebihan  pada makhluk-Nya. Sehingga hatiku dikendalikan  olehnya. Setiap apa  yang   ia  katakan  bak titah  raja yang  harus  kutaati. Maka, benarkah selama ini cintaku  pada-Nya,  setiap  aku  berbisik lirih pada do’a dan tangis, bahwa aku mencintai-Nya? Cintaku  sebenarnya untuk siapa?
            Adzan isya bersahut-sahutan di atas menara masjid yang berkilau-kilauan dengan cahaya. Aku memejamkan mata meresapi sambil menjawab setiap kalimat muadzin. Airmataku menetes. Aku bergegas mengambil wudhu, lalu menghadap Rabb pemilik dan penggenggam hatiku.
            Dalam sujud-sujud panjang kumeminta pada-Nya untuk diberi petunjuk, memohon ampunan untuk setiap dosaku, untuk setiap maksiatku, untuk cintaku yang pernah salah haluan. Memohon keikhlasan untuk bisa menerima segala takdir-Nya, baik ataupun buruk. Memohon untuk rela melepaskan jika dia bukanlah jodohku, serta meminta ganti yang lebih baik, atas dia yang telah pergi. Aku meratap pilu. Merayu seperti anak kecil kepada Ibunya. Berharap setiap tetes airmataku yang jatuh karena-Nya menjadi pelebur dosa-dosaku di masa silam.
Allahummagfirliy..
***

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Tentang Buku "Berdamai dengan Takdir"