Oleh-oleh dari Aqiqahan adik Khaulah



Warning! Jangan dibaca. Mengandung hal-hal yang menjijikkan dan unfaedah.
***
Sebenarnya, saya gak kepengen ikut acara tersebut. Pagi-pagi, salah seorang anak ustadzah sekaligus anak pemilik yayasan tempat saya mengajar, datang menanyakan, apakah saya mau ikut atau tidak. Dengan cepat saya jawab tidak. Kenapa? Karena saya tidak mau dianggap istri ketiga dari pemilik yayasan (dua istrinya ikut serta). Haha. Keluar dari kandang singa, masuk di kandang macan. Ujung-ujungnya, saya berangkat juga dengan ustadzah lain, semobil dengan suaminya. Hadeuw, saya berdo'a dalam hati, semoga di tempat acara gak ada yang nyeletuk "yang satu istri mudanya, akhi?" *Gubrak. Alhamdulillah, ternyata tidak ada.
Sesampai disana, ustadzah yang saya temani bertemu kawan lama. Mereka ngarol ngidul nostalgia jaman 90-an ketika dakwah Sunnah belum seterkenal sekarang. "Istrinya ustadz Fulan" bisik ustadzah yang didekat saya, menunjuk Ummahat yang sedang bercerita. Saya cuman ber-oh saja. Padahal gak kenal dengan ustadz yang di maksud. *Ckck. Mereka melanjutkan cerita. Saya jadi penyimak mereka saja. Saya sempat nyeletuk "saya belum lahir tahun segitu, umm. Hehe" , tapi dikacangin. *Huhu. Begitulah kalau angkatan lama bertemu. Anak baru mah apa atuh.
Sambil makan, mereka masih asyik ngobrol, sementara saya bermonolog sendiri sambil ngunyah. "Santri-santri saya pada kaya raya, ya. Ustadzahnya mah kere begini" *curhat. memutuskan untuk datang pun karena akhir bulan. Sudah kere sekere-kerenya. Alhamdulillah ada undangan makan gratis. *Jujur sekalee.
Tiba-tiba, setelah makan, perut saya melilit. Sepertinya mie instan di perut saya yang sudah dua pekanan saya konsumsi, berantem sama kari kambing di perut. Gak rela dia dapat saingan berat. Mungkin takut saya pindah ke lain hati. Padahal, apa pun minumannya, makannya tetap mie instan. *Jhyaha
Perut mules, pengen batuk (saya memang lagi batuk berdahak), dan lendir di hidung sudah meleleh. Karena gak tahan, khawatir dahaknya meletup didepan orang banyak yang lagi makan, akhirnya saya ijin kebelakang. Eh, pengen ke belakang malah di suruh ke lantai 3. *WCnya disono.
Cuman ngeluarin dahak dan ingus, takutnya kalau kelamaan, saya ditinggal. Maklum, nebeng. Akhirnya saya kembali ke majelis permusyawaratan bukibuk.
Ketika pamit pulang dengan tuan rumah, bukibuk ngerumpi lagi didekat ranjang si dedek yang baru lahir. Bahas soal menantu-menantuan segala.
"Ini juga masih akhwat" ujar ustadzah yang saya temani sambil menunjuk diriku yang tersipu2.
"Ooh, masih akhawat" rupanya dia tidak percaya pemirsah. Memang tampang saya kayak bukibuk. Karena digodain beberapa ustadzah, muka saya pengen masukin kantong. Malu beud. Mana cermin? Muka saya memerah sepertinya.
"Mau cariin ustadz buat yang kedua, umm?" Istri ustadz lain nyeletuk.
Ummahat yang bersangkutan tertawa dibelakang saya. "Enggak. Buat anak saya. Ada yang cowok."
Dalam hati, "ya Allah, siapa tahu, saya memang berjodoh jadi menantu ustadz" hahahaha. Inilah inti tulisan ini. Penting gak, sih? Jelas sekali. Tidak penting.
Faedahnya mana? Cari deh. Siapa tahu nyelip. Saya memang jarang nulis di blog hal-hal yang berfaedah. Ini hanya lucu-lucuan saja. Baca santai, sambil ngemil mie instan. Wkwkwk.
Udah, segitu aja.

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Takdirku-Cerpen

ketika hidayah menyapa (cerpen)

Nikmat Sehat (Laa ba'sa Thohurun Insya Allah)